Perempuan usia setengah abad, matanya sembab duduk di hadapan. Saya sebagai pendengar, tak menyelak saat cerita dituturkan. Dari bahasa tubuh dan tatapan sayu itu, saya bisa merasakan kegundahan.
Puluhan tahun sudah kerap dikasari sang suami, baik secara fisik maupun psikis. Tak terhitung berapa pukulan, tamparan, tendangan menyasar dan mendarat di tubuhnya. Pun kasar secara psikis, berupa umpatan, direndahkan, ditampakan perangi tak bersahabat.
Tenaganya jauh tak bisa mengimbangi, untuk melawan tanding tubuh berotot lelaki yang menikahi. Bisanya menangis menjerit, meski tak serta merta mengubah keadaan.
"Dasar B*d*h" umpat suami
"Kalau aku pintar, dari dulu nggak mau jadi istrimu" balasnya sembari menahan air mata
Jawaban menyaut sekenanya, kalau sudah tak tahan dengan keketusan yang bertubi-tubi.
Namun dalam kelemahan satu hal dirasakan, kesabarannya mengganda. Dalam ketidak berdayaan, sikap pasrah meneguh setangguh karang.
"Apa alasan bertahan?" tanya saya penasaran.
"Anak-anak" jawabnya lirih disela isakan
Sebagai ibu direlakan dirinya menaggung sebagai pesakitan. Tak hirau kebebasan berpendapat dilanggar, bahkan di otaknya tak sampai kepikiran komnas HAM.
Dirinya sendiri tidak lagi dipentingkan, dibanding keberlangsungan masa depan buah hatinya. Selain itu pertimbangan, menjaga perasaan orang tua sudah sepuh.
Untuk keputusan tidak mudah, telah dikorbankan banyak atas dirinya. Menghadapi situasi tidak adil, dengan kesabaran sebisanya dijalani.
Meski sesal kerap menyeruak, di saat bersamaan ditepis. Selebihnya adalah ketergantungan ekonomi, yang memutuskan (terpaksa) meminimalisir perlawanan.
---
Suami dengan sikap terbaik pada istri (dan anak-anak), dijamin tidak jatuh martabat dan harkatnya sebagai lelaki. Suami dengan wajah sumringah dengan senyum mengembang, tak bakal merosot harga diri sebagai kepala keluarga.
Suami dengan sebaik- baik sikap sejatinya tanpa disadari, sedang meniti  anak tangga untuk menaikkan derjatnya sendiri.
Anggota keluarga akan meyayangi, menghormati sang kepala keluarga. Mereka nyaman di sisi ayah, menyandarkan diri di dada pemimpin penuh tanggung jawab.
Rasulullah manusia sempurna, memberikan teladan sikap kepada keluarga dikasihi. Meski sebagai pemimpin umat, di rumah tak enggan menjahit baju sendiri yang koyak.
Rasulullah panglima perang paling disegani, tak risih berlomba lari dengan istri. Sebagai kakek bermain kuda-kudaan, dipunggung dinaiki Hasan dan Husen cucu kesayangan.
Wahai para suami, bagaimana kita saat ini?
Manusia penuh dosa dan lupa, selain meneladani Baginda Nabi pilihan.
Wahai Suami, Berikan Sikap Terbaik untuk IstrimuÂ
Kekerasan hati dan sikap kasar, laksana menanam benih kelak menumbuhkan pohon kedukaan bagi diri. Keangkuhan kesemena-menaan, seperti boomerang yang mengenai diri sendiri.
Perempuan berwajah memendam lara, tetap bersetia meski nelangsa.
Kini suami enam puluh tahun, raganya melemah dihinggapi sakit ini dan sakit itu. Otot kekar dan tenaga super itu, perlahan sirna seiring berjalannya waktu.
Tetapi garis muka dan perangi kasar, pandangan dan sorot mata tak bersahabat, masihlah membekas dan lekat di parasnya.
Istri yang disakiti dengan telaten mengurus, tak ubahnya mengurus kanak-kanak. Istri yang diabaikan dari sikap ramah, bertahan mendampingi dan mengabdi di saat raga suami mulai melemah.
Anak-anak beranjak dewasa dan sudah berumah tangga, menjadi saksi kebesaran hati sang ibu. Cucu-cucu dipersembahkan, begitu menyayangi sang nenek.
---
Para suami yang budiman, jangan tunda nanti dan nanti hingga penyesalan datang. Rengkuh pasangan jiwamu sedari sekarang, dengan menampilkan perlakuan dan sikap terbaik.
Kelak ketika raga mulai kepayahan, niscaya sikap terbaik istri pula menjadi hadiahnya. Suatu saat ketika tiba mata ini menutup selamanya, biarkan namamu bersemayam di sanubari istri, anak-anak, cucu dan keturunanmu.
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H