Sementara kita orangtua penginnya, anak bertahan mondok sampai 6 tahun. Kebetulan pondok memiliki jenjang SMP dan SMA, sehingga wali santri tidak repot hunting sekolah baru.
Demikian dinamika yang dihadapi, saya yakin di sekolah non pondok tak luput dari tantangan yang tak kalah unik.
Tips Mengirim Anak Belajar ke Pondok Pesantren
Secara pribadi, saya mengambil ancang-ancang dari anak naik kelas lima. Tetapi membiasakan kebiasaan, dari anak masih kecil. Semakin serius dan begitu anak naik kelas enam SD. Berikut beberapa tips mengirim anak ke pesantren:
Ajak Ngobrol Anak
Dari masih usia balita, hubungan kami (ayah dan anak) lumayan dekat. Kalau saya sholat ke masjid, anak kerap ngintili meski di masjid hanya duduk di sebelah ayahnya. Bagi saya hal demikian baik, setidaknya anak bisa merekam kebiasaan ayahnnya.
Baru di kelas empat, saya mengajak anak ngobrol tentang pesantren. Kebetulan saya punya novel Negeri Lima Menara, mengisahkan persahabatan santri di sebuah pondok di Jawa Timur.
Dari Novel ini saya membuka topik, tentang alternatif menempuh pendidikan melalui pesantren. Bahwa si anak berkesempatan merantau, jauh dari orangtua bisa melatih kemandirian serta struggling.
Tawaran ini rupanya mendapat sambutan, anak menyatakan ketertarikan dan ingin belajar agama lebih dalam.
Orangtua Membuka Wawasan
Kalau kata orang bijak, orangtua hebat untuk anak hebat. Saya memahami, bahwa kita orangtua musti mengimbangkan diri dengan harapan.
Artinya ketika ingin memiliki anak yang soleh dan solehah (hebat), ayah dan ibunya juga musti berupaya  menjadi soleh dan solehah.
Untuk tujuan tersebut, saya dan istri berupaya mengikuti kajian ini dan itu, demi mengupgrade pengetahuan.