Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Membujang: Sebuah Keegoisan, Pilihan atau Keputusasaan ?

27 Mei 2021   06:31 Diperbarui: 27 Mei 2021   07:43 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia diciptakan sungguh luar biasa, dengan segala ragam isi yang saling lengkap melengkapi. Masalah menikah hanya setitik, diantara tak terhingga masalah dalam kehidupan.

Menikah adalah sebuah tahapan kehidupan paling umum, telah dicontohkan oleh manusia pertama kemudian diteruskan secara turun menurun sampai sekarang.

Banyak hikmah terkandung dari pernikahan, yaitu sebagai arena melatih kesabaran, medan mengelola ego diri dan tentunya mengasah kedewasaan.

Menikah sebagai cara halal meneruskan pohon silsilah, sebagai penerus keturunan, yang akan melanjutkan cita-cita dan pengharaan.

Meskipun pada prakteknya, terdapat perbedaan dalam penyikapan adalah hal yang wajar. Dari masa ke masa selalu kita dapati, ada orang yang memilih tidak menikah hingga akhir hayatnya.

Mari kita menghormati hal demikian, jangan serta merta men-judge.

Tak dipungkiri, persoalan membujang di adat ketimuran, masih menjadi hal yang danggap tabu. Kebanyakan masyarakat, belum sepenuhnya menerima orang dengan kesendirian.

Apalagi kalau yang membujang, secara lahir sudah cukup umur dan berhasil di karir, kepemilikan harta benda terpenuhi, serta memiliki penampillan good looking.

Sontak spekulasi bermunculan, misalnya (bisa) dianggap memiliki ketertarikan yang menyimpang/ tidak wajar. Atau dianggap kurang bisa membawa diri, atau kurang luwes dalam bersikap atau bertutur.

Memang sih, menuruti omongan orang tidak ada habisnya. Kitanya yang musti bisa menyaring, diantara sekian banyak komentar setidaknya ada yang bisa dijadikan bahan introspeksi.

Semodern apapun jaman tengah berlangsung, sikap memilih tidak menikah masih dilematis. Di usia saya yang paruh baya, aneka rupa alasan saya temui,  mengapa orang memilih tidak menikah.

Kegoisan

Awal pindah ke Ibukota, ada teman perempuan usia sepantaran. Paras manis yang dimiliki diakui banyak teman lelaki (termasuk saya), tetapi ketika angkat bicara (entahlah) manis di wajahnya mendadak luntur.

Intonasi, cara bicara dan pemilihan kalimat sungguh tak enak didengar telinga, kalau baru kenal atau tak kuat bisa- bisa tersinggung.

Suatu hari saya pernah diminta tolong membeli barang, ketika saya bawa barang dengan merk tidak disukai seketika protes, ngotot minta ditukarkan. Saya tidak mau menanggapi, tetapi setelahnya enggan berurusan apapun dengan teman ini. Konon tidak ke saya saja, ke teman lain sikap serupa ditunjukkan.

Saya ketemu terakhir, teman perempuan ini masih sendiri, dan sikapnya belum banyak berubah. 

Kalau sikap egois yang ngeselin itu dipertahankan, saya yakin banyak lelaki menghindar karena tidak nyaman.

Sumber gambar: dok. pribadi
Sumber gambar: dok. pribadi

Pilihan 

Sewaktu bekerja menangani iklan media cetak, saya pernah menemui client seorang bapak usia jelang empatpuluh tahun.  Dari kali pertama bertemu, terkesan seorang yang sadar akan penampilan.

Suatu hari saya menelpon, untuk keperluan membicarakan rencana order iklan. Selain masalah pekerjaan, beliau membicarakan hal lain yang membuat saya terkaget-kaget.

Dari teman marketing lain barulah terbongkar, bahwa bapak (client) ini memiliki orientasi seksual berbeda. Saya teryakinkan dari sambungan telepon, obrolannya ngelantur dan terkesan ingin membuka jati dirinya.

Di kemudian hari setelah era medsos merebak, tanpa sengaja saya menemukan akun bapak ini. Karena circle pertemanan orang iklan, otomatis ketemunya berputar dari orang itu itu saja.

Mampir sekilas ke beranda medsosnya, saya tidak kaget dan memaklumi postingan beliau -- Kompasianer bisa menebak dong. 

Keputusasaan

Dulu, saya punya teman senior di tempat kerja. Dari sisi usia terpaut jauh di atas saya, pun soal kepintaran serta pengalaman di dunia marketing.

Dari wajah terbilang rupawan, ditunjang penampilan fisik yang terjaga. Di usia pertengahan tiga puluhan jabatan supervisior dipegang, memiliki rumah sendiri di daerah pinggiran Jakarta dan kemana pergi ditemani roda empat.

Beberapa kali berkegiatan bareng, senior perempuan terang-terangan minta dicarikan kenalan. Saya tidak berani menanggapi, mengingat pertemanan terbatas kebanyakan dilingkup staf marketing.

Saya coba mengingat -- ingat, tidak ada teman yang setara. Kalau dipaksakan justru minder, jatuhnya kasihan dan tidak enak.

Kami tidak sampai satu tahun sekantor, setelah pindah tidak berkomunikasi. Di kemudian hari kabar terdengar, teman ini masih belum menikah. Lain waktu terdengar lagi, teman senior pindah ke media lain dan masih melajang.

Melihat di medsos, status juga belum menikah. Setelahnya saya tidak mendengar kabar lagi.

Membujang :  Sebuah Keegoisan, Pilihan, atau Keputusasaan ?

Bahwa menikah bukan satu-satunya jalan meraih bahagia, saya sepakat. Tetapi menurut saya, menikah bukan berhenti di urusan bahagia saja.

Bahwa menikah adalah syariat agama, kalau dijalankan terkandung kebaikan, saya sangat menyepakati.

Dalam pernikahan, membentangkan liku-liku dan ketidaknyanaan. Melewati dan menjalani prosesnya, kita akan merasakan pengalaman rohani.

dokpri
dokpri
Kalau menikah diibaratkan sebuah ujian, (menurut saya ) yang penting bukan sekedar hasil akhir. Proses jatuh bangun meraih pasangan jiwa, akan menunjukkan seberapa kesungguhan itu.

Kalau setelah berletih segala usaha dikerahkan, ternyata belahan hati tak juga dipersuakan. Kemungkinan kehidupan punya rencana , yang kita tidak ketahui tetapi ujungnya niscaya membahagiakan.

Tetapi ketika alasan membujang, karena kita belum selesai dengan diri sendiri. Usaha pencariaitu sebaiknya janganlah diberhentikan.

Saya tidak bermaksud menghakimi orang yang membujang, tetapi kalau alasannya egois, pilihan (belum dipikir mendalam), atau putus asa.

Yuk, bangkit dan berusaha (kalau perlu) sampai titik darah penghabisan.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun