Dulu, saya punya teman senior di tempat kerja. Dari sisi usia terpaut jauh di atas saya, pun soal kepintaran serta pengalaman di dunia marketing.
Dari wajah terbilang rupawan, ditunjang penampilan fisik yang terjaga. Di usia pertengahan tiga puluhan jabatan supervisior dipegang, memiliki rumah sendiri di daerah pinggiran Jakarta dan kemana pergi ditemani roda empat.
Beberapa kali berkegiatan bareng, senior perempuan terang-terangan minta dicarikan kenalan. Saya tidak berani menanggapi, mengingat pertemanan terbatas kebanyakan dilingkup staf marketing.
Saya coba mengingat -- ingat, tidak ada teman yang setara. Kalau dipaksakan justru minder, jatuhnya kasihan dan tidak enak.
Kami tidak sampai satu tahun sekantor, setelah pindah tidak berkomunikasi. Di kemudian hari kabar terdengar, teman ini masih belum menikah. Lain waktu terdengar lagi, teman senior pindah ke media lain dan masih melajang.
Melihat di medsos, status juga belum menikah. Setelahnya saya tidak mendengar kabar lagi.
Membujang : Â Sebuah Keegoisan, Pilihan, atau Keputusasaan ?
Bahwa menikah bukan satu-satunya jalan meraih bahagia, saya sepakat. Tetapi menurut saya, menikah bukan berhenti di urusan bahagia saja.
Bahwa menikah adalah syariat agama, kalau dijalankan terkandung kebaikan, saya sangat menyepakati.
Dalam pernikahan, membentangkan liku-liku dan ketidaknyanaan. Melewati dan menjalani prosesnya, kita akan merasakan pengalaman rohani.
Kalau setelah berletih segala usaha dikerahkan, ternyata belahan hati tak juga dipersuakan. Kemungkinan kehidupan punya rencana , yang kita tidak ketahui tetapi ujungnya niscaya membahagiakan.