Awal pindah ke Ibukota, ada teman perempuan usia sepantaran. Paras manis yang dimiliki diakui banyak teman lelaki (termasuk saya), tetapi ketika angkat bicara (entahlah) manis di wajahnya mendadak luntur.
Intonasi, cara bicara dan pemilihan kalimat sungguh tak enak didengar telinga, kalau baru kenal atau tak kuat bisa- bisa tersinggung.
Suatu hari saya pernah diminta tolong membeli barang, ketika saya bawa barang dengan merk tidak disukai seketika protes, ngotot minta ditukarkan. Saya tidak mau menanggapi, tetapi setelahnya enggan berurusan apapun dengan teman ini. Konon tidak ke saya saja, ke teman lain sikap serupa ditunjukkan.
Saya ketemu terakhir, teman perempuan ini masih sendiri, dan sikapnya belum banyak berubah.Â
Kalau sikap egois yang ngeselin itu dipertahankan, saya yakin banyak lelaki menghindar karena tidak nyaman.
PilihanÂ
Sewaktu bekerja menangani iklan media cetak, saya pernah menemui client seorang bapak usia jelang empatpuluh tahun.  Dari kali pertama bertemu, terkesan seorang yang sadar akan penampilan.
Suatu hari saya menelpon, untuk keperluan membicarakan rencana order iklan. Selain masalah pekerjaan, beliau membicarakan hal lain yang membuat saya terkaget-kaget.
Dari teman marketing lain barulah terbongkar, bahwa bapak (client) ini memiliki orientasi seksual berbeda. Saya teryakinkan dari sambungan telepon, obrolannya ngelantur dan terkesan ingin membuka jati dirinya.
Di kemudian hari setelah era medsos merebak, tanpa sengaja saya menemukan akun bapak ini. Karena circle pertemanan orang iklan, otomatis ketemunya berputar dari orang itu itu saja.
Mampir sekilas ke beranda medsosnya, saya tidak kaget dan memaklumi postingan beliau -- Kompasianer bisa menebak dong.Â