Hilal telah tampak, berarti esok hari yang fitri siap menjelang. Itu yang sedang riuh dibicarakan di kostan, setelah Kementrian Agama mengumumkan melalui layar kaca.
Kota pahlawan mulai lengang, setelah arus mudik terasa sejak sepekan. Kawasan Tugu Pahlawan yang berdekatan dengan Pasar Turi, tak lagi sesibuk hari biasanya.
Sebagian besar orang, malam itu terpusat di dua stasiun besar (Stasiun Pasar Turi dan Gubeng) dan Terminal Purabaya.
Sementara Hanafi masih tampak santai, tak tampak berbenah atau beberes pertanda hendak pulang ke kampung halaman.
Sebagai bujang, rasanya tidak perlu persiapan khusus untuk mudik. Ibarat kata tinggal nyangklong tas ransel, dan tinggal lari mengejar bus ke kota tujuan.
Perjalanan ke kampung hanya butuh lima jam, jadi tak terlalu berlama-lama di jalanan. Dan urusan oleh oleh, bisa dibeli pasar sebelah terminal yang terdekat dari rumah ibu.
Lebaran tahun lalu, Hanafi terpaksa absen sholat Idul Fitri di kampung. Pulang baru bisa pada siang hari, sampai rumah menjelang malam.
Sepertinya tahun ini bernasib sama, pekerjaan sebagai penyiar radio mengharuskan demikian. Jadwal siaran diatur oleh Manager, dan (mau tak mau) musti dipatuhi.
Pertimbangan Pak Manager cukup masuk akal, dua bujangan di kantor diberi jadwal bertetapatn dengan hari pertama lebaran. Toh tidak sibuk dengan keluarga, tidak perlu berkunjung ke rumah mertua.
Untuk alasan ini, sebenarnya membuat Hanafi antara sedih dan senang. Karena status jomblo di usia 27 tahun, ternyata kerap menjadi bahan olokan.
Kondisi yang sama tidak hanya di kantor, tetapi di lingkungan pergaulan kemudian di keluarga besar, bahan serupakerap menjadi bahan guyon mengarah ke ejekan.
Hanafi bisa merasakan, siapa saja yang bercanda dan siapa yang serius (menyoal jomblo). Biasanya ditilik dari kalimat dilontarkan, raut wajah ditampakkan dan reaksi dimunculkan.
Nah, dari sekian banyak yang tampak tidak bercanda. Hanafi bisa mengerucutkan beberapa nama, yang sepertinya terlalu memojokkan.
Bahkan pada kondisi tertentu, nama-nama ini cenderung menjatuhkan baik secara terselubung atau bahkan dengan terang-terangan.
Pada orang-orang usil dan iseng yang kebangetan seperti ini, Hanafi memilih menjaga jarak. Berurusan dengan orang seperti demikian, tak ayal membuat emosi meletup-letup.
Alhasil hubungan pertemanan atau persaudaraan, berubah menjadi kurang harmonis.
------
"Cak, mudik po ra" tanya Arifin, office boy sambil membersihkan lantai studio
"Aku asline males mudik, Fin"
"Nggak pengin sungkem bapak ibuk ta Cak"
"Yo pengin, tapi..., wis mbuh lah"
Jawaban yang menggantung diucapkan, membuat Arifin tak enak melanjutkan pertanyaan. Dan tanpa pamit, Hanafi ditinggalkan sendiri di ruang siaran.
Sejak ada satu saudara, yang terkesan gencar melancarkan aksi pembulian itu. Hanafi mulai ada rasa enggan mudik, sebagai cara menghindari pertemuan.
Kalau mau jujur, mendapat jadwal siaran di hari idul fitri tidak membuatnya berat hati. Toh management memberi waktu untuk sholat ied, kemudian tugas dilanjutkan setelahnya.
Tetapi mengingat jadwal siaran hanya di hari pertama, kemudian hari kedua lebaran mendapat libur. Hanafi mencari cara paling aman, untuk bisa mudik tanpa ketemu banyak saudara. Tapi namanya hari raya, susah juga menghindari bertemu anggota keluarga besar.
Dan untuk keengganan ini, akhirnya disampaikan Hanafi kepada sang ibu. Ibu adalah orang paling sayang, sekaligus paling cerewet agar bungsunya segera menikah.
Tetapi ibu juga, yang selalu membela atau melindungi anaknya, ketika dibully dan dipermasalahkan kesendiriannya.
"Kamu harus mudik, urusan itu ora usah kawatir, ibu nanti yang ngadepin"
Kalimat pembelaan ibu sangat jelas, beliau bersedia pasang badan kalau anak disayangi dibully. Tetapi Hanafi bukan sekedar butuh perlindungan, tapi butuh lebih dari itu. Yaitu segera bertemu dengan calon istri, yang kemudian bisa melengkapi hidupnya yang hampa.
Dengan berkeluarga, selain membahagiakan ibu, tersirat niat sedikit jahat (jahat kok sedikit ya). Ingin membungkam omongan orang yang menjatuhkannya, ingin menunjukkan bahwa dia akhirnya menikah.
"Fin.., Arifin"
"Ya Cak" sahut Arifin setengah teriak
"Enake aku mudik nggak"
Arifin yang ada di belakang tak terdengar menyahut, mungkin tidak dengar atau mungkin bingung menjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H