"Yo pengin, tapi..., wis mbuh lah"
Jawaban yang menggantung diucapkan, membuat Arifin tak enak melanjutkan pertanyaan. Dan tanpa pamit, Hanafi ditinggalkan sendiri di ruang siaran.
Sejak ada satu saudara, yang terkesan gencar melancarkan aksi pembulian itu. Hanafi mulai ada rasa enggan mudik, sebagai cara menghindari pertemuan.
Kalau mau jujur, mendapat jadwal siaran di hari idul fitri tidak membuatnya berat hati. Toh management memberi waktu untuk sholat ied, kemudian tugas dilanjutkan setelahnya.
Tetapi mengingat jadwal siaran hanya di hari pertama, kemudian hari kedua lebaran mendapat libur. Hanafi mencari cara paling aman, untuk bisa mudik tanpa ketemu banyak saudara. Tapi namanya hari raya, susah juga menghindari bertemu anggota keluarga besar.
Dan untuk keengganan ini, akhirnya disampaikan Hanafi kepada sang ibu. Ibu adalah orang paling sayang, sekaligus paling cerewet agar bungsunya segera menikah.
Tetapi ibu juga, yang selalu membela atau melindungi anaknya, ketika dibully dan dipermasalahkan kesendiriannya.
"Kamu harus mudik, urusan itu ora usah kawatir, ibu nanti yang ngadepin"
Kalimat pembelaan ibu sangat jelas, beliau bersedia pasang badan kalau anak disayangi dibully. Tetapi Hanafi bukan sekedar butuh perlindungan, tapi butuh lebih dari itu. Yaitu segera bertemu dengan calon istri, yang kemudian bisa melengkapi hidupnya yang hampa.
Dengan berkeluarga, selain membahagiakan ibu, tersirat niat sedikit jahat (jahat kok sedikit ya). Ingin membungkam omongan orang yang menjatuhkannya, ingin menunjukkan bahwa dia akhirnya menikah.
"Fin.., Arifin"