Entahlah, apa yang mendasari sikap tersebut. Mungkin dasarnya (dari SMP) bukan pejuang cinta, jadi sikap saya reflek mengalir begitu saja. Tapi sudahlah, toh semua telah berlalu.
Kekuatan apa yang merasuki saat itu, saya dengan percaya diri nembung (berujar untuk meminta) kepada ibu mertua.Â
"Kalau ibu, ya terserah sama anaknya, mau atau tidak," balas calon mertua saat itu
Semesta memang punya cara yang unik, memberi jalan tak disangka kepada setiap insan. Kala itu saya semakin meyakini, bahwa setiap manusia telah disediakan pasangan. Tinggal bagaimana cara menjemput, itulah yang membedakan hasil.
Sekali lagi, yang paling utama, jangan berhenti berusaha dan berharap. Senyampang nafas dikandung badan, pantang patah arang dalam berikhtiar.
Menikah Itu, Tidak Hanya Urusan Seks !
Karena minim pengalaman pacaran, saya excited ketika dipertemukan belahan jiwa. Detik-detik menjelang hari pernikahan, rasa cemas semakin tak terkendali. Bahkan sempat terpikir, bagaimana mengatasi rasa malu (ssst, ini rahasia ya) kali pertama berhubungan suami istri- hehehe.
Tapi saya Bismillah saja, semua pasrah dan meluruskan niat untuk ibadah. Buktinya tanpa pacaran, alam mempertemukan dengan calon istri. Untuk selanjutnya (hubungan suami istri), pasti bisa dilalui dan dipermudah ( toh niatnya baik).
Kompasianer (yang bujang), apa terlintas dibenak kalian tentang masa-masa di awal menikah? Apakah membayangkan yang enak-enak, terutama masalah seks?
Kalau jawabnya iya, kita tos dulu. Berarti sama, dengan yang ada dipikiran saya dulu. Tapi itu sangat wajar dan sama sekali bukan hal tabu (asal tidak diumbar ya).