Ketika berada pada situasi seperti ini, biasanya hati kecil ini berkata "Duh, kayanya musti segera diet".
Saya sangat yakin, setiap orang punya suara hati, suara kejujuran yang selalu mengajak ke jalan kebaikan. Suara hati adalah fitrah, ibarat ruh sejati yang menyayangi diri sendiri.
Tetapi karena kita suka ngeyel, maka suara kebenaran dari dalam diri sendiri terabaikan dan terkuburkan. Kita sering sekali mengikuti hawa nafsu, yang senantiasa mengajak melawan suara hati.Â
Sebersit kesadaran yang sempat muncul, tenggelam lagi karena tak kita tanggapi.
Maka keesokan harinya, saya kembali lagi pada pola makan dan pola hidup seperti biasa. Tetap saja ngemil gorengan, gemar sayur yang diolah dengan santan, asupan kaya gula tak lewat untuk dikonsumsi.Â
Kembali meneruskan kebiasaan mager (males gerak), ogah memperbanyak jalan kaki memilih pesan ojol dan seterusnya.
------
"Aku lho, pengin kayak Om" teman yang umurnya sepantaran keponakan saya berujar. "Sekarang kok kurusan mas, gimana caranya" ujar seorang Bapak yang lama tak bersua. "Sekarang, mukanya lebih segeran Pak" celetuk teman lainnya.
Sekitar tiga tahun terakhir, saya cukup sering dan terbiasa mendengar kalimat jenis ini. Bahkan pada pekan pertama bulan Desember ini saja, masih ada teman mengaku pangling karena (menurutnya) pipi saya agak tirus.Â
Teman ini sempat ragu menyapa, sampai untuk memastikan melihat beberapa kali.
Saya tidak enggan menjawab dan berbagi tips, apalagi kalau waktu dan tempatnya tepat. Dengan senang hati, saya menceritakan awal mula diet. Kemudian melewati fase paling berat, adalah menjaga sikap konsisten dan membentuk mindset.