Saya menyadari, bahwa kapasitas suara saya sangat pas-pasan. Jangankan nembang jawa yang membutuhkan tehnik, bahkan menyanyi lagu masa kini atau campursari ala Didi Kempot, suara ini banyak fals-nya.
Maka sedari awal kelas, saya sudah sadar dan menempatakan diri sebagai pupuk bawang. Memilih duduk di baris belakang, dan nembangnya juga ikut-ikutan, beruntung bersebelahan dengan anak muda (sekira jelang 30-an) yang cukup pintar nembang.
Menyimak penjelasan singkat Romo Guru, setidaknya membuat saya ingat pelajaran lama dan sedikit paham. Bahwa nada di setiap tembang macapat prinsipnya seirama, hanya pada susunan lirik yang dirubah, dengan mengacu pakem yang diterapkan.
Masuk pertengahan hari (menjelang ashar), selain belajar keras agar bisa nembang saya punya usaha tak kalah hebat yaitu menahan kantuk---hadeuh. Ternyata bukan saya saja, teman yang duduk sambil senderan tiang merasakan hal sama.
Masuk waktu ashar ada jeda untuk istirahat, selain melepas penat bisa sholat dan nyamil makanan ringan. Dan ada yang membuat saya kaget, seusai istirahat diadakan gladi bersih kami nembang diiringi gamelan, sungguh hasilnya di luar dugaaan. Kami peserta workshop, bisa nembang dengan kompak layaknya pentas.
Menjelang maghrib workshop dinyatakan selesai, selanjutnya kami bisa sholat, ganti beskap yang disediakan panitia dan bersantap malam. Kemudian briefing dari Romo Guru sebelum pentas, pada saat itu rasa percaya diri saya bertumbuh.
Pocung
Rumentahe nugroho peparingipun
Kang Maha Kawasa
Wajib samya den syukuri
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!