Meskipun terlahir sebagai orang Jawa, dulu saya relatif kurang tertarik dan belum bisa menikmati keindahan gamelan -- dan sekarang saya menyesal untuk hal ini. Bagi saya (kala itu), mendengar gamelan bawaannya ngantuk, duh orang Jawa macam apa saya-- hehehe.
Semasa kecil, di kampung halaman kalau ada orang punya hajatan, kemudian nanggap wayang kulit semalam suntuk. Maka saya, termasuk orang yang tidak antusiat untuk datang dan menonton. Malam itu seperti malam di hari lainnya, saya tidur tepat waktu dan menutup kuping dengan bantal -- biar tidak terganggu suara gamelan.
Hingga datang kesempatan mengikuti "Workshop Macapat 2019", diselenggarkan Pemda DIY Badan Penghubung Daerah bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY di Anjungan Jogjakarta Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Sepanjang acara, saya seperti diajak mencari dan menemukan jati diri melalui tembang Macapat.
Macapat, adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut gutuh lagu.
Pintu kesadaran itu mulai sedikit terkuak, dan saya mulai bangun dari tidur panjang selama ini. Kenapa saya dulu, tidak bersemangat ketika pelajaran karawitan sedang berlangsung, malas dan enggan bergabung dengan ekskul panembromo.
Siang itu satu persatu, wajah teman semasa berseragam merah putih muncul. Mereka kala itu jago memainkan gamelan, berarti lebih dulu paham dan menikmati indahnya gamelan.
"Tembang Macapat, kacarios wiwit wonten nalika jaman pemerintahan (karaton) Demak. Karipta dening para ulama utawi para wali, minangka kangge nyebaraken agami islam"
(Tembang Macapat, diceritakan ada sejak jaman pemerintahan (keraton) Demak, diciptakkan oleh para ulama atau para wali, dalam rangka untuk menyebarkan agama islam)
"Ing salebeting tembang macapat, ngemot pitedah-pitedah, awisan saha paugeran agami sarta paugeran-paugeran ingkang dipun damel dening para sarjana lan sujana. Ugi saged dipun ginaaken kangge maos babad utawi sejarah
(di dalam tembang macapat, mengandung petuah petuah, juga aturan agama dan aturan yang dibuat kaum cerdik pandai. Juga bisa digunakan untuk membaca sejarah)
Belajar Macapat Belajar Kehidupan
Saya menyadari, bahwa kapasitas suara saya sangat pas-pasan. Jangankan nembang jawa yang membutuhkan tehnik, bahkan menyanyi lagu masa kini atau campursari ala Didi Kempot, suara ini banyak fals-nya.
Maka sedari awal kelas, saya sudah sadar dan menempatakan diri sebagai pupuk bawang. Memilih duduk di baris belakang, dan nembangnya juga ikut-ikutan, beruntung bersebelahan dengan anak muda (sekira jelang 30-an) yang cukup pintar nembang.
Menyimak penjelasan singkat Romo Guru, setidaknya membuat saya ingat pelajaran lama dan sedikit paham. Bahwa nada di setiap tembang macapat prinsipnya seirama, hanya pada susunan lirik yang dirubah, dengan mengacu pakem yang diterapkan.
Masuk pertengahan hari (menjelang ashar), selain belajar keras agar bisa nembang saya punya usaha tak kalah hebat yaitu menahan kantuk---hadeuh. Ternyata bukan saya saja, teman yang duduk sambil senderan tiang merasakan hal sama.
Masuk waktu ashar ada jeda untuk istirahat, selain melepas penat bisa sholat dan nyamil makanan ringan. Dan ada yang membuat saya kaget, seusai istirahat diadakan gladi bersih kami nembang diiringi gamelan, sungguh hasilnya di luar dugaaan. Kami peserta workshop, bisa nembang dengan kompak layaknya pentas.
Menjelang maghrib workshop dinyatakan selesai, selanjutnya kami bisa sholat, ganti beskap yang disediakan panitia dan bersantap malam. Kemudian briefing dari Romo Guru sebelum pentas, pada saat itu rasa percaya diri saya bertumbuh.
Pocung
Rumentahe nugroho peparingipun
Kang Maha Kawasa
Wajib samya den syukuri
Deng udio mri lumintu tekeng mbenjang
Salugune ya Gusti Kang Maha Agung
Maha Asih nyata
Mring umat manungso iki
Cinawisan sakathahing betahira
Saya malu dengan diri sendiri, sebagai orang jawa baru sekali ini bisa menikmati indahnya nembang. Mulai Dhandanggula, Kinanthi, Mijil, Asmaradana, Pangkur, Pocung, gambuh , maskumambang, sinom dan satu penembromo, rasanya begitu indah ditangkap gendang telinga.
Lirik dalam bahasa jawa halus di setiap tembang, ternyata begitu dalam dan penuh makna, saya membayangkan para wali yang telah menyusun setiap kata sehingga mengandung arti yang tinggi.
Saya jadi ingat satu buku dari (alm) Umar Kayam, (lebih kurangnya intinya) bahwa orang yang menemukan "roso" pada setiap yang dilakukan maka dia akan menemukan kedamaian. Dan nembang, adalah salah satu pintu menemukan roso, pintu menemukan kedamaian itu. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H