Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menemukan "Roso" Melalui Tembang Macapat

26 September 2019   22:34 Diperbarui: 26 September 2019   22:53 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kompasianer ikut dalam workshop Macapat- dokpri

Meskipun terlahir sebagai orang Jawa, dulu saya relatif kurang tertarik dan belum bisa menikmati keindahan gamelan -- dan sekarang saya menyesal untuk hal ini. Bagi saya (kala itu), mendengar gamelan bawaannya ngantuk, duh orang Jawa macam apa saya-- hehehe.

Semasa kecil, di kampung halaman kalau ada orang punya hajatan, kemudian nanggap wayang kulit semalam suntuk. Maka saya, termasuk orang yang tidak antusiat untuk datang dan menonton. Malam itu seperti malam di hari lainnya, saya tidur tepat waktu dan menutup kuping dengan bantal -- biar tidak terganggu suara gamelan.

Hingga datang kesempatan mengikuti "Workshop Macapat 2019", diselenggarkan Pemda DIY Badan Penghubung Daerah bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY di Anjungan Jogjakarta Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Sepanjang acara, saya seperti diajak mencari dan menemukan jati diri melalui tembang Macapat.

Macapat, adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut gutuh lagu.

Pintu kesadaran itu mulai sedikit terkuak, dan saya mulai bangun dari tidur panjang selama ini. Kenapa saya dulu, tidak bersemangat ketika pelajaran karawitan sedang berlangsung, malas dan enggan bergabung dengan ekskul panembromo.

Siang itu satu persatu, wajah teman semasa berseragam merah putih muncul. Mereka kala itu jago memainkan gamelan, berarti lebih dulu paham dan menikmati indahnya gamelan.

Romo Guru Projowasono - dok Dinas Kebudayaan DIY
Romo Guru Projowasono - dok Dinas Kebudayaan DIY
Adalah Romo Guru Projosuwasono, mentor workshop macapat pada pekan ketiga bulan September lalu. Kewibawaan beliau begitu terasa, ketika menyampaikan materi dengan bahasa Jawa halus (lhas kraton). Kerendahan hati terasa mengemuka, saat mengucapkan kalimat dengan kosa kata jawa yang tepat dan jauh dari sifat congkak.

"Tembang Macapat, kacarios wiwit wonten nalika jaman pemerintahan (karaton) Demak. Karipta dening para ulama utawi para wali, minangka kangge nyebaraken agami islam"

(Tembang Macapat, diceritakan ada sejak jaman pemerintahan (keraton) Demak, diciptakkan oleh para ulama atau para wali, dalam rangka untuk menyebarkan agama islam)

"Ing salebeting tembang macapat, ngemot pitedah-pitedah, awisan saha paugeran agami sarta paugeran-paugeran ingkang dipun damel dening para sarjana lan sujana. Ugi saged dipun ginaaken kangge maos babad utawi sejarah

(di dalam tembang macapat, mengandung petuah petuah, juga aturan agama dan aturan yang dibuat kaum cerdik pandai. Juga bisa digunakan untuk membaca sejarah)

Belajar Macapat Belajar Kehidupan

Saya menyadari, bahwa kapasitas suara saya sangat pas-pasan. Jangankan nembang jawa yang membutuhkan tehnik, bahkan menyanyi lagu masa kini atau campursari ala Didi Kempot, suara ini banyak fals-nya.

Maka sedari awal kelas, saya sudah sadar dan menempatakan diri sebagai pupuk bawang. Memilih duduk di baris belakang, dan nembangnya juga ikut-ikutan, beruntung bersebelahan dengan anak muda (sekira jelang 30-an) yang cukup pintar nembang.

sesi workshop-dokpri
sesi workshop-dokpri
Pada jam pertama workshop, saya berusaha keras mengingat pelajaran nembang yang pernah diterima semasa SD. Wajah guru karawitan sekaligus panembromo, sesekali muncul di benak dan saya ingat bagaimana wajah senang, ketika muridnya paham dengan maksud disampaikan.

Menyimak penjelasan singkat Romo Guru, setidaknya membuat saya ingat pelajaran lama dan sedikit paham. Bahwa nada di setiap tembang macapat prinsipnya seirama, hanya pada susunan lirik yang dirubah, dengan mengacu pakem yang diterapkan.

Masuk pertengahan hari (menjelang ashar), selain belajar keras agar bisa nembang saya punya usaha tak kalah hebat yaitu menahan kantuk---hadeuh. Ternyata bukan saya saja, teman yang duduk sambil senderan tiang merasakan hal sama.

Masuk waktu ashar ada jeda untuk istirahat, selain melepas penat bisa sholat dan nyamil makanan ringan. Dan ada yang membuat saya kaget, seusai istirahat diadakan gladi bersih kami nembang diiringi gamelan, sungguh hasilnya di luar dugaaan. Kami peserta workshop, bisa nembang dengan kompak layaknya pentas.

Menjelang maghrib workshop dinyatakan selesai, selanjutnya kami bisa sholat, ganti beskap yang disediakan panitia dan bersantap malam. Kemudian briefing dari Romo Guru sebelum pentas, pada saat itu rasa percaya diri saya bertumbuh.

dok DInas Kebudayaan DIY
dok DInas Kebudayaan DIY
-------

Pocung

Rumentahe nugroho peparingipun

Kang Maha Kawasa

Wajib samya den syukuri

Deng udio mri lumintu tekeng mbenjang

Salugune ya Gusti Kang Maha Agung

Maha Asih nyata

Mring umat manungso iki

Cinawisan sakathahing betahira

Saya malu dengan diri sendiri, sebagai orang jawa baru sekali ini bisa menikmati indahnya nembang. Mulai Dhandanggula, Kinanthi, Mijil, Asmaradana, Pangkur, Pocung, gambuh , maskumambang, sinom dan satu penembromo, rasanya begitu indah ditangkap gendang telinga.

Lirik dalam bahasa jawa halus di setiap tembang, ternyata begitu dalam dan penuh makna, saya membayangkan para wali yang telah menyusun setiap kata sehingga mengandung arti yang tinggi.

dok DInas Kebudayaan DIY
dok DInas Kebudayaan DIY
saat pentas -dokpri
saat pentas -dokpri
Mungkin pengaruh dari perjalanan dan pengalaman hidup, yang membuat presepektif saya tentang nembang mulai bergeser. Ada rasa damai singgah di kalbu ini, ketika mengeja dan memahami kata demi kata.

Saya jadi ingat satu buku dari (alm) Umar Kayam, (lebih kurangnya intinya) bahwa orang yang menemukan "roso" pada setiap yang dilakukan maka dia akan menemukan kedamaian. Dan nembang, adalah salah satu pintu menemukan roso, pintu menemukan kedamaian itu. Semoga bermanfaat.

dok DInas Kebudayaan DIY
dok DInas Kebudayaan DIY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun