Sebagai kepala keluarga, suami dan ayah, saya selalu berusaha semampu dan sebisanya membahagiakan mereka. Karena semua tugas kehidupan ini, kelak akan ada pertanggungjawaban di yaumil akhir.
Menjadi kepala keluarga yang mengayomi, menjadi suami yang perhatian dan menjadi ayah yang sayang anak, memang butuh komitmen dan perjuangan. Dan hal ini cukup sepadan, sebagai ajang pembuktian bahwa tekad membahagiakan keluarga itu benar adanya.
Saya Yakin, Tidak Semua Suami Ingin Poligami
Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits, dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Sungguh, saya bukan tidak setuju dengan praktek poligami (karena memang tidak dilarang agama), tetapi saya menyoroti seberapa mampu manusia (apalagi manusia biasa seperti kita) meluruskan niat untuk menikahi lebih dari satu perempuan.
Kalaupun ada laki-laki yang sanggup menjalani poligami dan berhasil, saya angkat topi untuk hal ini. Tetapi kalau menjadikan perintah agama, untuk sekedar membenarkan kehendak, kemudian berlaku aniaya kepada (biasanya) istri pertama, apakah sebaiknya niat terbetik tidak dipikir ulang.
Saya yakin, siapapun orangnya tidak bisa menjamin, bahwa dirinya bisa berlaku adil dalam segala hal (tidak hanya berkalu untuk urusan poligami saja). Kita manusia dianugerahi kecenderungan, untuk menyenangi satu hal melebihi dari yang lain.
Saya sepakat, bahwa meneladani semua sikap dan perilaku Rasulullah sangat dianjurkan, karena beliau manusia sempurna yang sudah dijamin surga. Tetapi saya juga sepakat, bahwa banyak hal lain bisa menjadi sumber keteladanan dari Rasulullah, tidak hanya poligami saja.