Nabi Muhammad SAW, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).
Masih terekam jelas di benak, dua momen istimewa yang tak bakal terlupa sepanjang hayat dikandung badan. Adalah dini hari sebelum adzan subuh berkumandang, dan satu lagi selepas waktu maghrib menuju isya.
Di ruangan yang didominasi warna putih, waktu berjalan begitu lambat dan jantung seolah hendak lepas dari tempatnya. Melihat dokter dan perawat berjibaku, calon ayah ini hanya bisa terpaku sambil merapal doa. Sementara telapak tangan istri, mengenggam erat tangan suami, seolah tak mau sedetik pun berjarak, memastikan si suami berada di samping turut merasakan apa yang dirasakan.
Wahai para suami dan para ayah yang baik, tentu sangat beruntung apabila berkesempatan mendampingi istri saat melahirkan. Detik detik menegangkan tersebut, sekaligus akan menjadi momen istimewa, yang niscaya dapat merekatkan ikatan suami istri.
Mengikuti tahap demi tahap dalam proses melahirkan, bagi saya adalah waktu yang cukup monumental dan bersejarah sepanjang hidup. Makanya kalau ada yang mengumpamakan, bahwa melahirkan adalah pertaruhan nyawa, saya rasa memang benar dan begitu kenyataannya.
Perjuangan berat menjadi ibu saat melahirkan, adalah ketika melewati pembukaan demi pembukaan, puncaknya ketika kepala calon bayi mendesak jalan lahir. Saat ubun-ubun dari kepala calon bayi mulai tampak, perjuangan sang ibu terasa semakin berat, kala itu saya tak henti menyemangati.
"Yuk, kita hitung bareng dan semua yang di sini bantu ngeden," dokter menyemangati.
"Satu, Dua, Heekkkk, kepala bayi sudah maju. Yuk ulang lagi. Satu, dua, hekkkk. LAGI. Satu, dua, hekkk...." Begitu kepala bayi keluar maka proses melahirkan dilalui.
---
Sebagai kepala keluarga, suami dan ayah, saya selalu berusaha semampu dan sebisanya membahagiakan mereka. Karena semua tugas kehidupan ini, kelak akan ada pertanggungjawaban di yaumil akhir.
Menjadi kepala keluarga yang mengayomi, menjadi suami yang perhatian dan menjadi ayah yang sayang anak, memang butuh komitmen dan perjuangan. Dan hal ini cukup sepadan, sebagai ajang pembuktian bahwa tekad membahagiakan keluarga itu benar adanya.
Saya Yakin, Tidak Semua Suami Ingin Poligami
Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits, dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Sungguh, saya bukan tidak setuju dengan praktek poligami (karena memang tidak dilarang agama), tetapi saya menyoroti seberapa mampu manusia (apalagi manusia biasa seperti kita) meluruskan niat untuk menikahi lebih dari satu perempuan.
Kalaupun ada laki-laki yang sanggup menjalani poligami dan berhasil, saya angkat topi untuk hal ini. Tetapi kalau menjadikan perintah agama, untuk sekedar membenarkan kehendak, kemudian berlaku aniaya kepada (biasanya) istri pertama, apakah sebaiknya niat terbetik tidak dipikir ulang.
Saya yakin, siapapun orangnya tidak bisa menjamin, bahwa dirinya bisa berlaku adil dalam segala hal (tidak hanya berkalu untuk urusan poligami saja). Kita manusia dianugerahi kecenderungan, untuk menyenangi satu hal melebihi dari yang lain.
Saya sepakat, bahwa meneladani semua sikap dan perilaku Rasulullah sangat dianjurkan, karena beliau manusia sempurna yang sudah dijamin surga. Tetapi saya juga sepakat, bahwa banyak hal lain bisa menjadi sumber keteladanan dari Rasulullah, tidak hanya poligami saja.
Untuk menjalankan Poligami, sangat butuh kesiapan yang matang, tidak sekedar siap mencukupi dari segi finansial saja, tetapi juga dari sisi kelimuan yang mumpuni. Bagi para suami (apalagi yang ilmunya cetek seperti saya), monggo belajar lebih dan berpikir ulang untuk poligami.
Banyak contoh bisa disaksikan di sekitar kita, pasangan yang tampak harmonis sampai maut memisahkan. Dan almarhum ayah saya, adalah suami yang bersetia dengan satu istri hingga akhir hayatnya.
Pada saat ajal menjemput ayahanda, melalui bahasa lisan dan bahasa tubuhnya, saya bisa melihat dan merasakan betapa besarnya cinta ibu pada lelaki sederhana itu. Kebaikan dan ketulusan sang suami, selalu dan selalu diceritakan ibu saya hingga saat ini.
Ya, saya yakin, meskipun dianjurkan agama, tidak semua suami ingin poligami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H