Seminggu sekali atau dua kali, saya rutin menelpon ibu di kampung. Menanyakan kabar perempuan sepuh, sembari berbagi cerita yang terjadi di tanah kelahiran. Getar suara riang sangat jelas terasa, seolah memang menanti si bungsu menghubungi.
"Aku itu seneng kalau ditelpon, denger kabar sehat dan baik-baik," ujarnya dari seberang.
Saya pegang nasehat kakak ipar, kalau ada kisah sedih bagi dengan pasangan jiwa, jangan ceritakan ke orang tua. Sudah bukan waktunya, orang tua memikirkan masalah anaknya -- apalagi anak sudah berkeluarga.
Maka, setiap telepon saya hindari berkeluh kesah -- apalagi masalah keuangan. Saya dan ibu lepas berbincang ringan, lima  atau sepuluh menit dijamin tidak cukup. Setengah jam belum tentu tuntas, karena topik bahasan melebar kemana suka.
Dari saudara jauh yang hendak menggelar sunatan, sungai dekat sawah menyempit akibat kebun di atasnya longsor, berita duka dari tetangga atau saudara, teman masa kecil yang usahanya menanjak dan seterusnya dan seterusnya.
Khusus obrolan siang itu terselip satu kabar, berasal dari kerabat perempuan -- masih kuliah -- Â yang sudah bertemu dengan calon imam. Konon dari pihak lelaki berniat melamar, saking seriusnya sudah sampai tahap pembicaraan antar kedua orang tua --pihak lelaki dan perempuan.
"namanya masih kuliah, kan belum kerja yo," celetuk ibu.
Saya memaklumi pola pikir ibu, termasuk generasi lama yang berpandangan maintream (baca kuno). Â Dalam alam pikiran ibu (atau orang seusianya), -- bisa jadi-- yang dinamankan bekerja identik dengan kerja di kantor (baik PNS atau karyawan swasta).
Orang bekerja -- menurut ibu--, setiap pagi berangkat dan sore pulang ke rumah. Memakai seragam dengan warna tertentu, lazimnya pegawai di kantor pemerintah atau perusahaan swasta.
Saya masih ingat, ketika dulu memutuskan resign dari tempat kerja di sebuah perusahaan. Ibu adalah orang pertama, yang paling menentang keputusan saya.
Saya masih ingat petuah -- tepatnya omelan--, bahwa bekerja itu di satu tempat saja jangan pindah-pindah. Karena perlahan-lahan, --masih menurut ibu-- karir akan menanjak dan gaji akan semakin besar.
Meskipun saya sangat tidak setuju, saya tidak menjawab sama sekali. Bagaimanapun orang tua, pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, dari sudut pandang si orang tua.
Tidak perlu saya meluruskan pendapat ibu, yang ada justru saya dimarahi, dianggap anak berani dengan orang tua---gawat kan, hehehehe.
****
Saat menghadiri sebuah majelis, saya menyimak seorang ustad tengah berbagi pengalaman. Waktu melamar gadis pilihan, mendapat pertanyaan dari (kala itu) calon ayah mertua.
Mendengar hal ini saya menduga, ustad muda akan mejawab "Belum kerja", kemudian menyertakan argumentasi sembari meyakinkan"bahwa akan mencari kerja setelah menikah dan seterusnya dan seterusnya", tapi ternyata tebakan saya salah.
"saya tidak kerja tetap Pak, tapi saya tetap kerja." Jawab ustad muda.
Entah bagaimana reaksi si ayah -- tidak diceritakan--, yang jelas lamaran diterima kini ustad dan gadis yang dilamar -- sudah menjadi istri-- telah memiliki buah hati beranjak besar.
Pilihan Kerja Generasi Millenial
Kompasianer masih ingat, video viral seorang bocah ditanya cita-cita, oleh Presiden Joko Widodo. Si anak usia SD menjawab dengan lantang, kalau besar ingin menjadi "Youtuber."
Tidak ada yang salah, dengan keinginan menjadi youtuber, vlogger, penulis, konten kreator, pemusik, olahragawan dan sebagainya.
Era kekinian, jarang kita temui jawaban pada anak-anak, ingin menjadi guru, dokter, perawat, pegawai negeri dan profesi mainstream. Sekarang era, anak-anak mulai memilih bekerja secara independent, lebih berorientasi pada hasil.
Bekerja adalah fitrah setiap manusia, kehidupan yang akan membayar, atas upaya yang telah dilakukan setiap manusia. Kerja tetap dan tetap kerja, menurut saya hanya sebuah istilah pada prakteknya sama.
Seorang guru, seorang dosen, seorang vlogger, Youtuber, Polisi, Pilot, Pedagang, pembuat kue dan sebagainya dan sebagainya, esensinya adalah  bekerja.
Yang membedakan dari setiap pekerjaan, adalah bagaimana setiap orang melakukan pekerjaan yang sedang dilakukan.
Orang yang sepenuh hati, mengerjakan apa yang menjadi tugasnya, maka hasilnya akan berbeda dengan orang yang setengah-setengah.
Tetap kerja perlu dibalut dengan kesungguhan, disertai sebuah komitmen untuk berkarya di bidang yang digeluti. Saya rasa sudah saatnya tidak mempermasalahkan, antara kerja tetap dengan tetap kerja, semua sama semua tiada beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H