Satu sore sepulang sholat dari masjid, kejadian pilu dan menyesakkan itu saya alami. Lemari kecil satu satunya di kamar kost terbuka, bagian pinggir pintu lemari kayunya rusak dan boncel. Lubang kunci pada pintu lemari longgar, pengait tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Rak paling atas ada Kaos dan baju, sudah centang perenang bekas diobrak abrik. Rak kedua berisi celana, kondisinya tidak jauh beda dengan rak diatasnya. Hanya rak paling bawah masih rapi, karena berisi tumpukkan buku tampak tidak tersentuh sama sekali.
Uang simpanan, di bawah tumpukan baju rak paling atas lenyap. Lembar demi lembar uang melayang, tetes demi tetes keringat di dahi seperti terampas tanpa ampun.
Sontak ulu hati seperti tertusuk, begitu perih dan pedih dirasakan. Badan mendadak lunglai tak bertenaga, tulang belulang tak kuasa menyangga daging. Saya tak mau memperpanjang urusan, hanya bercerita pada teman satu kost tanpa berusaha menyelidik pelakunya.
Mulai dari nol lagi, mengumpulkan selembar demi selembar uang. Kali ini sudah tidak di bawah tumpukan baju, tapi disimpan di dompet dan dibawa kemana mana.
Akhirnya lima lembar uang dua puluh ribuan terkumpul, segera pergi ke bank dan membuka rekening. Saya berkesimpulan, menyimpan uang di bank jauh lebih aman dan membuat perasaan tenang.
Pada usia sembilan belas tahun, rekening bank atas nama sendiri kali pertama dimiliki. Sejak saat itu menabung di bank terus bertahan, sampai sekarang beranak pinak sudah berkeluarga.
-0o0-
Satu rekening bank dibuat, untuk back up kebutuhan keluarga dan lain lain -- seperti uang bulanan dan lainnya. Rekening bank kedua dibuat, khusus untuk keperluan sekolah anak anak.
Dua  tabungan untuk kebutuhan khusus tersebut, saya pilih bank yang sedikit mesin ATM. Alasannya jelas, kalau ATM bank tersebut jarang perlu upaya ekstra mengambil uang.