Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengelola Keuangan Keluarga Tanpa Hutang dengan Menabung di Bank

2 September 2017   22:36 Diperbarui: 2 September 2017   23:03 1884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi gambar dari cahayanabawi(dot)com

Saya yakin, setiap orang pasti tidak ingin punya hutang. Untuk alasan apapun, lazimnya hutang membuat hidup tidak tenang. Bagaimana bisa tenang, kalau masih ada hak pihak lain harus diselesaikan.

Apalagi kalau sudah dikejar-kejar debt collector, berarti sudah mulai ada masalah dengan pengembalian  utang.  Serem juga sih ya, kalau sudah ada unsur kekerasan dalam menagih utang.

Masalahnya, siapa yang mau konsisten dengan sikap tidak berhutang. Kadang manusia kerap terbawa arus, demi harapan akan gaya hidup yang diidam-idamkan. Berpenampilan wah terlihat trendy di medsos, menenteng barang branded limited edition.

"Kalau ga hutang, gak bakal bisa punya barang mahal ini," celetuk teman yang membeli barang secara kredit. Semua pilihan ada di tangan masing masing orang, konsekwensi juga ditanggung sendiri-sendiri. Namun sebaiknya hati-hati berucap, kalau kejadian benar (gemar utang) diri sendiri juga yang susah.

Saya merasa beruntung, lahir dan besar dari orang tua dan memiliki saudara sarat dengan pelajaran. Almmarhum Ayah seorang guru sekolah dasar, ibu memiliki warung sembako di pasar kampung. Keluarga  sederhana semakin semarak, dengan kehadiran enam anak semuanya laki laki.

Saya masih ingat, betapa riuh ketika seluruh anggota keluarga berkumpul. Setiap petang selesai sholat maghrib, kami mengelilingi meja makan kayu berlapis taplak plastik. Dua bakul besar berisi nasi tersaji, bersanding lauk dan sayur seadanya.

Lauk yang paling akrab ditampilkan, adalah tahu, tempe, ikan teri, ikan gerih dan sejenisnya. Sayur yang sering muncul, adalah sayur nangka, sayur daun singkong, bayam dan semacamnya.

Daging ayam atau daging sapi muncul sesekali, biasanya kalau sedang ada kelebihan rejeki. Pun masakan lezat seperti soto, rawon, gule dan olahan berbahan daging, menjadi masakan super spesial yang sangat jarang ada di meja makan kami.

Kakak sulung dan nomor dua menuju dewasa, porsi makan paling banyak diantara adik-adiknya. Melihat tumpukan nasi bak gunung di piring, ayah dan ibu tersenyum sembari mengacungkan jari jempol.

-0o0-

bersamma ibu sang inspirator sejati -dokumentasi pribadi
bersamma ibu sang inspirator sejati -dokumentasi pribadi
Keterbatasan ekonomi dialami, memaksa ibu tambal sulam memenuhi kebutuhan. Gaji guru yang tidak seberapa, tak cukup menanggung beban hidup suami istri dengan setengah lusin anak.

Upaya Ibu membantu keuangan dengan berjualan, tidak sepenuhnya mendongkrak penghasilan. Terutama untuk kebutuhan sekolah, ibu terpaksa berhutang ke tetangga kanan kiri. Kerepotan dialami orang tua saya saksikan sendiri, bagaimana susah payah mencukupkan keuangan yang ada

Satu sore kelabu, di sudut dapur ibu berkesah sembari lirih berdoa. Tanpa sepengetahuannya, bungsu baru pulang dari bermain lewat di belakangnya. Sebuah pengharapan dibisikkan, agar anak-anaknya tidak mencontoh kebiasaan berhutang seperti dirinya.

Selepas lulus sekolah menengah atas, anak ragil bekerja agar tidak membebani orang tua. Sebagai tenaga kasar dengan upah kecil, belajar bertahan hidup sebulan dengan penghasilan yang diterima.

Berkaca dari pengalaman pahit orang tua, bertekad tidak mengulangi kebiasaan berhutang. 

"Yup, Saya tidak ingin berhutang," bisik batin ini membulat

Menabung adalah Solusi

Mencukupkan upah tak seberapa, untuk kebutuhan hidup selama sebulan bukan perkara mudah. Segala cara saya tempuh, agar beberapa lembar uang di dompet habis pada tanggal gajian di akhir bulan.

Mula mula saya pasang strategi, gaji diterima langsung dibagi tiga puluh hari. Angka didapat dari hasil pembagian, dijadikan patokan besaran pengeluaran harian. Mau tidak mau, suka tidak suka, pengeluaran sehari tidak boleh melebihi jatah ditetapkan.

Otak ini terus berputar, terus mencari cara untuk berhemat. Membeli satu kardus mie instant, stock khusus untuk makan malam setiap hari. Untuk sarapan dengan menu seadanya, pun makan siang dibanyakin nasi putih agar awet kenyang.

Beberapa bulan berjalan menemukan ide, rutin puasa sunah setiap hari senin dan kamis. Pada setiap kamis malam datang ke acara pengajian, diadakan seminggu sekali di masjid dekat kost.

Lumayan, akhirnya bisa menghemat pengeluaran. Untuk dana makan dan minum aman, karena setiap kamis sore bisa berbuka di masjid. Sisa jatah harian disimpan, genap sebulan bisa menyisihkan selembar dua lembar sebagai tabungan.

Satu sore sepulang sholat dari masjid, kejadian pilu dan menyesakkan itu saya alami. Lemari kecil satu satunya di kamar kost terbuka, bagian pinggir pintu lemari kayunya rusak dan boncel. Lubang kunci pada pintu lemari longgar, pengait tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Rak paling atas ada Kaos dan baju, sudah centang perenang bekas diobrak abrik. Rak kedua berisi celana, kondisinya tidak jauh beda dengan rak diatasnya. Hanya rak paling bawah masih rapi, karena berisi tumpukkan buku tampak tidak tersentuh sama sekali.

Uang simpanan, di bawah tumpukan baju rak paling atas lenyap. Lembar demi lembar uang melayang, tetes demi tetes keringat di dahi seperti terampas tanpa ampun.

Sontak ulu hati seperti tertusuk, begitu perih dan pedih dirasakan. Badan mendadak lunglai tak bertenaga, tulang belulang tak kuasa menyangga daging. Saya tak mau memperpanjang urusan, hanya bercerita pada teman satu kost tanpa berusaha menyelidik pelakunya.

Mulai dari nol lagi, mengumpulkan selembar demi selembar uang. Kali ini sudah tidak di bawah tumpukan baju, tapi disimpan di dompet dan dibawa kemana mana.

Akhirnya lima lembar uang dua puluh ribuan terkumpul, segera pergi ke bank dan membuka rekening. Saya berkesimpulan, menyimpan uang di bank jauh lebih aman dan membuat perasaan tenang.

Pada usia sembilan belas tahun, rekening bank atas nama sendiri kali pertama dimiliki. Sejak saat itu menabung di bank terus bertahan, sampai sekarang beranak pinak sudah berkeluarga.

-0o0-

sumber gambar kontan(dot)com
sumber gambar kontan(dot)com
Hasil dari mendengar dan membaca banyak sumber, saya memasang strategi dalam mengatur keuangan keluarga. Membuat tiga rekening di bank berbeda, masing-masing punya peruntukkan sendiri sendiri. Kuncinya satu, konsisten dan disiplin jangan seenak sendiri mengambil uang dari tabungan yang bukan peruntukkannya.

Satu rekening bank dibuat, untuk back up kebutuhan keluarga dan lain lain -- seperti uang bulanan dan lainnya. Rekening bank kedua dibuat, khusus untuk keperluan sekolah anak anak.

Dua  tabungan untuk kebutuhan khusus tersebut, saya pilih bank yang sedikit mesin ATM. Alasannya jelas, kalau ATM bank tersebut jarang perlu upaya ekstra mengambil uang.

Sementara untuk rekening bank ketiga, dipakai untuk kebutuhan pribadi dan sehari hari. Saya buka di bank yang memiliki banyak ATM, jumlah tabungan didalamnya juga tidak telalu banyak.

Eit's, jangan salah pilih ya, menabung di bank yang ada tanda LPS. Tanda ini biasanya tertempel di pintu masuk, ada poster dominasi warna kuning, bertuliskan "Bank Peserta Penjaminan LPS."

LPS atau Lembaga Penjamin Simpanan, selain menjamin simpanan nasabah, juga memeihara dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Agar bisa menabung aman, ada tips yang disebut 3 T

3T  Kriteria Simpanan Layak Bayar

  • Tercatat dalam pembukuan
  • Tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga penjaminan
  • Tidak melakukan tindakan merugikan Bank

LPS beroperasi sejak tahun 2005, telah melakukan penanganan claim terhadap 81 bank yang dicabut ijin usahanya. Jadi ngeri, kalau ingat kasus bank yang dicabut ijin dan tidak bisa membayar dana nasabahnya.

Beruntung, saya memilih bank peserta penjaminan LPS. Selain merasa aman, tenang dan Pasti.

-0o0-

Ilustrasi- dokumentasi pribadi
Ilustrasi- dokumentasi pribadi
Disiplin menabung, musti dibarengi dengan banyak hal satu diantaranya tidak terbawa arus gaya hidup. Tidak ada guna, meningkatnya tabungan berbanding lurus dengan gaya hidup mewah dan mengikuti trend.

Selama keuangan mencukupi tidak masalah, tapi kalau memaksakan diri karena gaya hidup kan jadi susah sendiri.

Dalam mengelola keuangan keluarga, saya berusaha belanja yang dibutuhkan sesuai kemampuan. Bagi saya, harus ada kebutuhan prioritas dan harus dikedepankan. Dana untuk pendidikan anak-anak, bagi saya kebutuhan paling penting dan diutamakan.

Kalau sedang banyak rejeki jangan lupa diri, masih banyak kebutuhan di hari mendatang. Berhemat dengan menabung di bank pasti lebih bijak, daripada menghamburkan uang untuk kesenangan sesaat.

Ibu adalah guru sejati kehidupan, pengorbanan dan susah payahnya dilakoni begitu membekas dan mengisnpirasi. Kesahnya di satu sore yang sendu, ternyata menanamkan tekad dalam diri anak bungsunya.

"Biar ibu saja pontang panting cari utangan, Kamu ojo niru ibu yo le," nasehat itu terucap sehari sebelum saya menikah.

Satu dasawarsa lebih usia pernikahan kami berjalan, satu yang terus digenggam adalah nasehat ibu. Dengan tekad sekuat tenaga, saya berusaha mencukupkan kebutuhan keluarga tanpa berhutang.

Berkat doa manjur dari ibu, satu persatu keperluan bisa kami atasi. Rumah sederhana yang kami tempati, kami beli cash setelah menabung jauh hari sebelum menikah. Kendaraan yang mengantar kami ke mana pergi, juga berkat seperak dua perak hasil kami menabung. (pernah dituliskan di SINI )

Menabung di Bank nyata manfaatnya, apalagi pada Bank peserta penjaminan LPS, membuat hati lebih tenang dan tabungan lebih aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun