Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ajari Anak Mengelola Uang Lebaran

3 Juli 2017   03:54 Diperbarui: 3 Juli 2017   19:27 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: ciricara.com

Hari lebaran menjadi momen spesial, saat berkumpul menyambung tali silaturahmi dengan keluarga besar. Baik keluarga besar dari garis ibu atau pihak ayah, sekalian bersua dengan tetangga dan atau kawan lama.

Aneka jajanan berjajar disuguhkan di meja tamu, makanan khas diolah dan dihidangkan sebagai jamuan santap bersama. Rona ceria terpancarkan di setiap wajah, menyambut datangnya hari kemenangan atau Idul Fitri tiba.

Kebahagiaan menjadi hak milik siapa saja, tak memandang status miskin atau kaya tak membeda usia tua muda atau belia. Ketakjuban hari raya di ujung Ramadan selalu luar biasa, suka cita berpihak kepada siapa saja merayakannya.

Sementara abaikan dulu bagaimana kualitas puasa, masalah dosa dan pahala biarlah urusan personal dengan Sang Pencipta. Sesama manusia dilarang menilai hanya dari kulit luar, karena tidak mampu kita mengukur dalamnya hati orang lain.

Satu hal paling ditunggu anak-anak, setelah salaman keliling dari rumah ke rumah tetangga yang sudah sepuh. Biasanya ditutup dan dilengkapi dengan salam tempel, diberikan menjelang pamit dan keluar dari kediaman tuan rumah.

Pembagian uang lebaran dilaksanakan, diberikan khusus untuk anak-anak usia SMP ke bawah. Setelah si anak duduk di Sekolah Menengah Atas, mulai dihinggapi rasa malu ikut antre mendapat jatah uang lebaran.

"Saya sudah besar mbah," kalimat spontan terlontarkan, ketika empu rumah masih memaksa memberi uang lebaran.

Setelah prosesi pembagian uang lebaran, otomatis menambah tebal kantong anak-anak. Uang baru dengan angka ribuan sampai puluhan ribu berpindah kepemilikan, anak-anak dalam rombongan silaturahmi punya jatah jajan berlebih.

-0o0-

"Mbah, kami pamit dulu mau melanjutkan silaturahmi."

Pagi menjelang siang, ketua rombongan lebaran tahun ini mohon ijin kepada pemilik rumah. Adalah saudara tertua di keluarga dari garis ibu, lebaran ini menjadi leader prosesi berkunjung ke sanak famili.

Suasana berkunjung di rumah kerabat- dokpri
Suasana berkunjung di rumah kerabat- dokpri
Kakak usia setengah abad memegang andil, menentukan kemana langkah kaki rombongan harus menapak. Kami para adik sekandung dan atau sepupu serta keponakan ikut serta, mengekor di belakang barisan.

Kalau dihitung, rumah yang hendak dikunjungi ada sekitar dua puluh musti dihampiri pada lebaran setiap tahunnya. Untuk alasan masih ada hubungan kekerabatan, selain itu tetangga dekat dengan usia lebih tua.

"Sebentar tunggu dulu, anak-anak ke sini semua."

Kalimat tuan rumah sontak menahan langkah anak-anak, tangan berkerut itu dengan cekatan mengambil dompet. Selembar demi selembar uang dibagikan, kepada tangan-tangan mungil yang mendekat.

Foto keluarga di kampung- dokpri
Foto keluarga di kampung- dokpri
Ibu kami yang sudah sepuh tinggal di rumah, melakukan hal serupa kepada tamu-tamu berkunjung yang membawa serta anak kecil. Uang jatah lebaran yang diberikan anaknya, diteruskan untuk sangu anak-anak kecil.

Kebahagiaan berlebaran ternyata bisa ditularkan, ibu yang berusia 70 tahun senang dapat uang dari anak-anaknya. Kemudian anak-anak tetangga tak kalah bahagia, mendapat sangu dari tuan rumah yang dikunjungi.

Keseruan lebaran masih belum selesai lho. Sesampai di rumah anak anak menghitung hasil "tabungan". Nah orang tua tidak boleh egois donk, uang lebaran hak milik anak jangan diminta dengan alasan apapun, hehehe.

-0o0-

Suasana lebaran masih begitu kentalnya, suasana jalanan begitu sepi dari lalu lalang kendaraan. Saya yang balik ke kota perantauan lebih awal, mendapati lalu lintas ibu kota sangat lengang tak ada kemacetan.

Mal dan atau pusat perbelanjaan belum terlalu ramai pengunjung, gerai pakaian, restoran cepat saji, toko kue dan snack, counter pulsa dan barang eletronik masih jarang pengunjung. Hanya terlihat petugas sibuk berbenah, sepertinya baru buka setelah libur lebaran.

Siang itu sulung mengidamkan satu barang, mengajak serta Si Ayah berbelanja yang sudah menjadi incaran. Selembar dua lembar uang lebaran dikumpulkan, rela menahan diri untuk sekadar jajan makanan kesukaan apalagi mainan.

"Yah, Kakak mau beli sepatu" ujarnya sambil menghitung lembaran uang "Kalau kurang, nanti ayah tambahi ya."

Kalimat ini disambut dengan anggukan Si Ayah.

Keputusan anak lanang ini lumayan tepat, barang yang ingin dibeli sebenarnya juga meringankan beban orang tua sekaligus.

Bagaimana tidak, lebaran tahun ini beriringan dengan datangnya tahun ajaran baru. Setelah dana teralokasikan untuk kebutuhan hari raya, orang tua musti konsentrasi lagi mencari biaya sekolah. Apalagi tahun ini adiknya masuk sekolah dasar, pada awal puasa sudah membayar uang masuk sekolah baru.

Anak lanang membeli sepatu -dokpri
Anak lanang membeli sepatu -dokpri
Dua laki-laki membuat kesepakatan, akan memilih sepatu dengan kisaran harga sesuai isi kantong. Kalau dihitung-hitung dari harga dipilih, ayah tinggal menambahkan sekitar uang lima puluh ribu.

Berdua menyusuri rak demi rak di gerai sepatu di satu pusat perbelanjaan, menilik satu persatu model, warna sekalian mengecek angka terpasang di bandrol. Kami berpindah dari etalase ke etase, berganti satu merk ke merk lain. Ketika mendapati warna dan model sesuai selera, terpaksa harus melepaskan barang ketika harganya tidak sesuai kantong.

Cukup lama menimbang-nimbang jenis sepatu, sampai akhirnya ketemu barang yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan. Ayah musti nambah uang lebih dari kesepakatan awal, tetapi tidak masalah daripada semua harga ditopang dompet Si Ayah.

Berdua pulang dengan langkah ringan dan hati riang, anak dan ayah merasa mendapat kemenangan yang sama. Anak bisa sekolah memakai sepatu baru, ayah tak perlu menanggung semua harga sepatu yang dibeli.

Alangkah sederhana setiap masalah anak dan orang tua, kalau jalan keluar ditempuh adalah kesepakatan dua belah pihak. Orang tua tidak memaksakan kehendak, pun anak tidak musti merengek-rengek untuk mendapatkan suatu barang.

"Ayah, adik mau beli sepatu dan baju renang pakai uang lebaran."

Suara gadis kesayangan menyahut, melihat kakak sedang mencoba sepatu baru di rumah. Keputusan Si Adik tentu mendapat dukungan penuh, mengingat di sekolah baru ada ekskul berenang sebulan sekali.

Bayangkan, kalau saja anak-anak mau membelanjakan uang pribadi untuk hal yang lebih penting---misalnya kebutuhan sekolah. Selain kebutuhan sekolah terpenuhi, beban orang tua juga merasa diringankan.

Sedari kecil, anak-anak sangat bisa dididik agar tidak konsumtif. Caranya cukup simpel, misalnya tidak sekedar membeli mainan yang biasanya tidak lama pakai. Dengan mengajak menggunakan uang untuk hal yang lebih penting, otomatis mengajak anak berpikir lebih jauh ke depan.

Kalau hal kecil seperti ini terus ditumbuhkan, bukan mustahil berpengaruh pada saat mereka dewasa. Akan memengaruhi sikap untuk hal yang lebih besar, membentuk kepribadian akan diterapkan dalam kehidupan yang lebih luas. 

--salam--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun