"Piye, sudah ada calonmu?" suara ibu terdengar dari seberang "Kalau sudah ada, buruan diajak pulang, ibuk pengin kenal !"
"Doain saja buk" balas saya menyembunyikan rasa kesal.
Entahlah, pertanyaan satu ini selalu membuat perasaan tak menentu. Biasanya saya langsung mencari alasan, segera mengakhiri sambungan telepon.
"Sudah Buk, aku mau berangkat kerja, Assalamualaikum"
- Klik- . Percakapan terputus.
Komunikasi di akhir pekan selesai, menorehkan pilu di dada. Sejak merantau di Jakarta, rutin seminggu sekali menghubungi ibu. Namun setiap satu pertanyaan diajukan, ada rasa tak karuan menjalar di dada.
Saya tak habis pikir, mengapa ibu tak peduli perasaan anaknya. Meski tujuannya baik, agar anaknya tidak keenakkan melajang. Jujur, pertanyaan pasangan hidup begitu sensitive, kerap menerbitkan rasa galau.
“Apakah memang sudah tersedia jodoh, mendampingiku di muka bumi ini. Pada usia diambang kepala tiga, belum tampak tanda-tanda kedatangannya” benak ini menjerit.
Hati bertambah pilu, saat melihat atau mendengar teman sebaya menimang buah hati. Atau mendapat kabar, saudara di kampung yang lebih muda akan menikah.
“Slamet temanmu SD, istrinya lahiran minggu lalu. Adiknya juga mau dilamar, calonnya guru SMP” jelas ibu panjang lebar.
Kalimat yang tersiar, benar benar menohok dan menghunjam ulu hati. Meski diucapkan tanpa tekanan, namun tajam dibungkus sindiran. Tak ada balasan terlontar, saya hanya diam membisu.
Saya bungsu dari enam saudara, tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayah guru Sekolah Dasar, ibu memiliki warung di pasar kecil di kampung. Kami enam anak laki-laki, dengan jarak lahir sekitar dua sampai empat tahun.
Keadaan ekonomi pas-pasan, membuat kami terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Saya terbiasa menyapu lantai, ngepel, mencuci dan setrika baju. Kalau hari libur, mendapat tugas membantu jualan di pasar.
Semasa berseragam abu-abu putih, hampir tak pernah ikut nongkrong teman sekelas. Saat teman sebaya mulai pacaran, saya berfocus pada sekolah. Meski tak mendalami agama, setidaknya tahu mana yang boleh dan dilarang.
Saya tak setuju pacaran, karena lebih banyak mudhorot dibanding manfaat. Atas pilihan sikap seperti itulah, sampai lepas SMA saya tidak pernah pacaran.
Memilih berkegiatan pramuka, ikut ekstra kulikuler teater. Membuat kelompok belajar, menjelang hari ujian diselenggarakan. Ayah dan ibu senang, melihat anaknya tak membuat ulah. Prestasi sekolah cukup baik, meski tidak terlalu menonjol.
Baru pada tahun kedua kuliah, pernah naksir adik kelas. Gadis semampai berkerudung rapi, namun tak sanggup mengungkapkan. Perasaan yang ada dipendam, hanya diketahui oleh diri sendiri. Saya pernah mengutuki diri, jelang kelulusan gadis ini dilamar orang lain.
"Inget waktu berjalan terus, kalau di entar-entarin kasihan anakmu nanti, Kamu sudah tua, tapi anakmu masih kecil”.
Sabtu malam sama dengan malam lain, tak kenal malam mingguan, apalagi berkencan. Kalau datang perasaan suntuk, saya memilih pergi ke toko buku. Hingga pernah terdengar sayup, CD diputar mengiringi suasana membaca yang santai.
Begitu Jauh, waktu ku tempuh
Sendiri mengayuh biduk kecil
Hampa berlayar akankah berlabuh
Hanya diam, menjawab kerisauan
Reffrain lagu “Pasangan Jiwa” milik Katon, membuat dua bola mata hangat dan mengembun. Menyadari usia yang terus merambat, sebentar lagi menjelang genap tiga dasawarsa.
Doa panjang tak henti dilantunkan, meyakini belahan jiwa tiba datang pada saat yang tepat. "Keyakinan" saya hunjamkan, dalam doa selalu diulang- ulang. Seolah ingin meyakinkan diri, kepada Sang Pemilik Kehidupan. Bahwa niat menikah telah kuat, semata ingin mendekat pada- NYA.
Jelang pergantian tahun semakin kecut, beban batin bertambah berat. Pertanyaan datang tak hanya dari ibu, kakak nomor dua tak kalah sengit. Terkesan menjatuhkan mental adiknya, seolah tertawa di atas penderitaan orang lain. Kerap saya dibuat tak berkutik, dengan candaan yang menyinggung.
Perihal status jomblo, bukan lagi rahasia di tempat kerja. Ejekan teman kantor, sebatas masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tak pernah sedikitpun tersinggung, dengan lontaran konyol teman kantor.
Beruntung ada satu teman kantor, ternyata menjadi pembuka tabir jodoh. Dari kawan baik inilah, saya bersua dengan calon istri kala itu.
Seperti dejavu, perasaan yang sama seperti saat naksir adik tingkat di kampus. Perkenalan dicomblangi, terlaksana dengan lancar tanpa kendala berarti. Seminggu mengirim pesan, mohon diijinkan bertemu orang tua. Sepekan berikutnya mengutarakan lamaran, lampu hijau diberikan calon mertua kala itu.
Setiap manusia, masing masing memiliki penantian berbeda. Sepanjang apapun kepedihan, tetap memiliki jatah masanya sendiri. Mempertahakan pengharapan dengan terus berikhtiar, menjadi pilihan terbaik diantara terbaik. Kita manusia sebatas mempersiapkan diri, agar pantas menerima anugerah-NYA –salam-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H