Saya bungsu dari enam saudara, tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayah guru Sekolah Dasar, ibu memiliki warung di pasar kecil di kampung. Kami enam anak laki-laki, dengan jarak lahir sekitar dua sampai empat tahun.
Keadaan ekonomi pas-pasan, membuat kami terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Saya terbiasa menyapu lantai, ngepel, mencuci dan setrika baju. Kalau hari libur, mendapat tugas membantu jualan di pasar.
Semasa berseragam abu-abu putih, hampir tak pernah ikut nongkrong teman sekelas. Saat teman sebaya mulai pacaran, saya berfocus pada sekolah. Meski tak mendalami agama, setidaknya tahu mana yang boleh dan dilarang.
Saya tak setuju pacaran, karena lebih banyak mudhorot dibanding manfaat. Atas pilihan sikap seperti itulah, sampai lepas SMA saya tidak pernah pacaran.
Memilih berkegiatan pramuka, ikut ekstra kulikuler teater. Membuat kelompok belajar, menjelang hari ujian diselenggarakan. Ayah dan ibu senang, melihat anaknya tak membuat ulah. Prestasi sekolah cukup baik, meski tidak terlalu menonjol.
Baru pada tahun kedua kuliah, pernah naksir adik kelas. Gadis semampai berkerudung rapi, namun tak sanggup mengungkapkan. Perasaan yang ada dipendam, hanya diketahui oleh diri sendiri. Saya pernah mengutuki diri, jelang kelulusan gadis ini dilamar orang lain.
"Inget waktu berjalan terus, kalau di entar-entarin kasihan anakmu nanti, Kamu sudah tua, tapi anakmu masih kecil”.
Sabtu malam sama dengan malam lain, tak kenal malam mingguan, apalagi berkencan. Kalau datang perasaan suntuk, saya memilih pergi ke toko buku. Hingga pernah terdengar sayup, CD diputar mengiringi suasana membaca yang santai.
Begitu Jauh, waktu ku tempuh
Sendiri mengayuh biduk kecil