"Aaah.., itu bukan ibu"
Lelaki paruh baya berpakaian safari warna biru muda, berwajah teduh merangkum pedih kehidupan.
Langkah terayun perlahan tapi pasti, menyusuri jalan bebatuan dan menanjak. Hangat matahari pagi, berpadu dengan hawa desa yang cemerlang, Pepohonan rindang, hamparan padi hijau kekuningan, menjadi saksi setiap berangkat dan pulang. Bertahun-tahun rute sama ditempuh, menuju tempat mengajar di desa sebelah.
Sebenarnya ada angkutan antar desa, menjadi alat transportasi meringankan kerja dua kaki. Namun sejak anak tertua masuk sekolah tinggi, ayah enam anak ini "terpaksa" berjalan kaki.
"Pak, teman-taman di kampus banyak yang pakai motor" cetus sulung
"Ooo, gituuu"
Kepala si ayah manggut-manggut pelan, berpikir keras sembari mencari cara mewujudkan. Entahlah apa yang dipikiran, setelah permintaan itu lelaki ini lebih banyak diam.
Sebulan kemudian, motor tua dengan tangki warna biru muda. Sudah nangkring di sudut teras rumah, menjadi barang termahal dimiliki keluarga sederhana. Senyum si sulung mengembang lepas, memperlihatkan deretan gigi- giginya. Si ayah nampak dengan senyum ditahan, seolah menyembunyikan beban ditanggung.
Sejak saat itu, motor yang dibeli secara kredit tak pernah dinaiki. Setiap pagi, dibawa anaknya menuju kampus megah di kota. Kalau motor terlihat kotor, dengan tekun si ayah mencuci.
Keadaan memaksa orang tua lebih berhemat, demi membayar cicilan sampai sekian tahun ke depan.