Kami berasal dari keluarga kebanyakan, ayah ibu dengan enam anak laki-laki. Bisa dibayangkan betapa repotnya orang tua, dalam mengelola keuangan rumah tangga. Ayah seorang guru sekolah dasar, ibu membuka warung di sudut pasar kampung.
Masih terekam di ingatan, saat kebutuhan datang secara bersamaan. Ayah dan ibu begitu kelimpungan, mencari jalan keluar atas masalah dihadapi. Ibarat kata kepala dijadikan kaki, sungguh mereka berdua mengalami.
Hal ini jelas terlihat, saat kenaikan kelas dan atau hari kelulusan tiba. Mendaftarkan dua anak bersamaan di sekolah lebih tinggi, tentu membutuhkan dana tidak sedikit.
Sampai satu hari terbetik kabar, ibu terpeleset dan kaki kanannya jatuh ke dasar sungai kecil. Kabar terdengar dari penjual tempe, kebetulan lewat saat ibu terperosok dari bibir sungai.
Saat anak sulung hendak mengambil formulir, uang pendaftaran masuk perguruan tinggi musti disediakan. Jatah beras bulanan pegawai negeri dijual, sedikit tabungan sudah dikerahkan. Namun apalah daya, ternyata dana dibutuhkan belum ada di tangan.
Pagi subuh beriring gerimis, ibu bergegas meninggalkan dapur tempat berjibaku setiap pagi. Mengejar terbit matahari, sebelum mbarep berangkat menuju sekolah tinggi. Rumah tetangga di seberang sungai kecil, menjadi jujugan mencari pinjaman.
Sebelum sampai tujuan peristiwa naas terjadi, peristiwa yang tidak pernah diceritakan ibu, pada kami anak-anaknya.
"Bu, kakinya kok berdarah?" tanya saya
"enggak apa-apa, tadi kena pisau" Senyum itu mengembang, seolah meyakinkan bahwa semua berjalan baik-baik saja.
Jawaban yang cukup masuk akal, sehingga tidak bersambung dengan pertanyaan berikutnya.
Kisah terpelesetnya ibu di sungai kecil, tetap disimpan dan ditutup rapat dari bibir ibu. Pun ketika saya coba sampaikan, kesaksian tukang tempe yang melihatnya. Ibu bersikeras menutupi, tak ingin membagi kesedihan pada saya anaknya.
"Aaah.., itu bukan ibu"
Lelaki paruh baya berpakaian safari warna biru muda, berwajah teduh merangkum pedih kehidupan.
Langkah terayun perlahan tapi pasti, menyusuri jalan bebatuan dan menanjak. Hangat matahari pagi, berpadu dengan hawa desa yang cemerlang, Pepohonan rindang, hamparan padi hijau kekuningan, menjadi saksi setiap berangkat dan pulang. Bertahun-tahun rute sama ditempuh, menuju tempat mengajar di desa sebelah.
Sebenarnya ada angkutan antar desa, menjadi alat transportasi meringankan kerja dua kaki. Namun sejak anak tertua masuk sekolah tinggi, ayah enam anak ini "terpaksa" berjalan kaki.
"Pak, teman-taman di kampus banyak yang pakai motor" cetus sulung
"Ooo, gituuu"
Kepala si ayah manggut-manggut pelan, berpikir keras sembari mencari cara mewujudkan. Entahlah apa yang dipikiran, setelah permintaan itu lelaki ini lebih banyak diam.
Sebulan kemudian, motor tua dengan tangki warna biru muda. Sudah nangkring di sudut teras rumah, menjadi barang termahal dimiliki keluarga sederhana. Senyum si sulung mengembang lepas, memperlihatkan deretan gigi- giginya. Si ayah nampak dengan senyum ditahan, seolah menyembunyikan beban ditanggung.
Sejak saat itu, motor yang dibeli secara kredit tak pernah dinaiki. Setiap pagi, dibawa anaknya menuju kampus megah di kota. Kalau motor terlihat kotor, dengan tekun si ayah mencuci.
Keadaan memaksa orang tua lebih berhemat, demi membayar cicilan sampai sekian tahun ke depan.
Ayah dan Ibu Inspirasiku
Dua wajah menua, duduk di kursi sisi kiri panggung pelaminan bungsunya. Pasangan suami istri, hampir setengah abad menempuh liku perjalanan. Pernikahan anak ke enam, seolah merampungkan tugas mengantar anak-anak.
Mereka sepasang kakek nenek, dengan selusin cucu pelipur hati. Bahagia nestapa dihadapi dengan perasaan sama, toh keduanya didatangkan silih berganti. Setiap bertambah waktu, mengukuhkan jalinan cinta.
Aku, lelaki belum separuh perjalanan. Masih tertatih mengeja, setiap peristiwa dalam kehidupan. Aku ragilmu, baru berada di garis permulaan hadapi onak duri dan badai.
Bercermin dari kalian ayah ibuku, membajakan keyakinan. Bahwa setiap kita, akan mampu dan dimampukan menempuh segala ujian lehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H