Tantangan Palyja paling utama, adalah penambahan air baku. Tercatat sejak 1998 sampai sekarang, tidak ada tambahan air baku. Sementara tambahan pelanggan meningkat, dari 200ribu menjadi 400 ribu lebih.
Solusi yang diambil yaitu efisiensi, atau menurunkan tingkat kehilangan air. Menambah jaringan distribusi, dari  4.000 menjadi 5.500 KM. Meskipun dengan pengoptimalan dari Palyja, defisit air di seluruh Jakarta masih ada 9.100 liter perdetik.
Jakarta utara tidak punya alternatif air tanah, musti mendapat konsentrasi penanganan. Sebenarnya bisa menggunakan air laut sebagai air baku, namun butuh teknologi yang biayanya tidak murah. Biaya pengolahan air laut per-meter kubik adalah 13 ribu, belum ivestasi belum distribusi. Berapa harga sampai di pelanggan? --silakan hitung sendiri.
Tagline "Bersama Demi Air", adalah ajakan bersama melayani warga jakarta mendapat layanan air.
-0o0-
Ibu Emma Nedi, selaku Production Department Head Palyja menjelaskan tentang IPA Taman Kota.
IPA Taman Kota yang berdiri tahun 1982, sempat dihentikan operasionalnya pada tahun 2007. Hal ini disebabkan air baku memburuk, dengan tingkat amonium sampai 8 PTM (seharusnya 1 PTM).
Tahun 2012 IPA Taman Kota diaktifkan, setelah kerjasama dengan BPPT dengan menggunakan teknologi bio filtrasi (memakai bakteri) untuk meremove polutan terutama amonium.
Tantangannya IPA Taman Kota, selain polutan amonium adalah air laut. Konon air laut paling bisa, mematikan bakteri baik pemakan amonium. Sementara saat datang musim kemarau, arus balik dari laut membuat microorganisme tidak bekerja dengan optimum. Nah, penjelasan ibu Emma Nedi semakin gamblang saat Visit di IPA Taman Kota.
Pada ujung acara Nangkring, Kompasianers dipersilakan masuk ke DMCC (Distribution Monitoring Control Center). DCCM adalah ruang monitor, pengelolaan air baku sampai air siap disalurkan ke pelanggan. DMCC memantau IPA Â Pejompongan 1 dan 2, IPA Cilandak dan IPA Taman Kota.
Dari DMCC bisa dilakukan