Tentang motor Honda, saya pribadi punya kisah dan kenangan khusus. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ayah saya yang seorang guru membeli sepeda motor second bermerk Honda. Kala itu sekitar tahun 1983, motor dengan tangki warna biru muda masuk ke rumah. Rasa penasaran menyeruak, setelah saya tilik bertulis Honda CB 125.
Mendadak Honda keluaran tahun 1975, menjadi benda paling berharga di rumah. Nangkring di sudut ruang tamu, bersebelahan dengan tempat kami menonton televisi. Tapi meski ada motor, nyatanya ayah masih tetap berjalan kaki. Kebiasaan setiap pagi membelah pematang sawah menuju tempat mengajar, tak serta merta hilang. Rupanya motor  yang dibeli dari hasil menabung bertahun-tahun, dengan rela dipakai anak sulung kuliah.
Setelah waktu jauh berlalu dan mulai bekerja, motor yang saya beli pertama kali adalah Grand Astrea tahun 1997. Betapa girangnya hati kala itu, membeli motor dengan hasil keringat sendiri meski dengan cara kredit. Rasanya kaki ini bebas melangkah kemana suka, tanpa perlu menunggu angkutan umum atau berjalan kaki demi mencapai satu tempat.
Setahun setelah memiliki motor, tepatnya tahun 1998 terjadi krisis moneter. Tindak kejahatan mulai marak terjadi, orang kalang kabut memenuhi kebutuhan. Motor pertama meninggalkan kenangan pilu, saat diparkir hilang digondol maling.
Dunia rasanya seperti runtuh poranda, setetes keringat demi keringat seolah terbuang sia-sia. Badan ini lunglai tak bertenaga, kembali menjadi angkoter's dan berjalan kaki. Untung motor yang hilang diasuransikan, sehingga cicilan periode berikutnya sudah ada yang mengcover. Tiga bulan setelah masa menyedihkan, saya terima uang kelebihan pembayaran cicilan motor dari perusahaan asuransi. Demi kelancarkan pekerjaan dan kegiatan lainnya, uang sisa asuransi ditambah tabungan yang ada untuk membeli motor second.
Pilihan jatuh pada Honda Astrea Prima tahun 1989, motor jenis ini bisa disesuaikan isi kantong. Pikir saya biarlah motor berusia sembilan tahun, yang penting bisa menopang badan ini kemana pergi. Saya lebih memilih tak membeli dengan kredit, agar tak memikirkan beban cicilan bulanan. Terlebih trauma kehilangan motor masih dalam, setidaknya perlu waktu untuk memulihkan.
Justru dari pengalaman pahit, menumbuhkan tekad bekerja giat dan tentu lebih rajin menabung. Saya memilih double pekerjaan, pagi sampai sore di kantor dan malam hari bekerja part time. Tiga tahun saya lakukan penuh ketekunan, hingga tabungan cukup untuk membeli motor baru.
Luka karena kehilangan sudah pulih, makin mantap mengambil keputusan. Akhirnya saya membeli Honda Legenda, tabungan yang terkumpul cukup untuk membeli secara cash. Honda Legenda tahun 2002 setia menemani, baik saat bekerja maupun berlibur. Apalagi masih bujang ngekost pula, bisa berangkat pagi pulang malam. Kembali saya banyak berkegiatan, bergabung dalam aneka komunitas dan menjalin banyak pertemanan. Legenda bertahan hingga menikah, baru setelah istri hamil bisa berganti Honda baru.
Honda Legenda "pensiun", digantikan posisinya oleh Revo awet sampai sekarang. Motor Revo seolah menjadi kaki sekaligus nyawa kedua kami, menjadi andalan kemana-mana. Mengantar istri belanja dagangan kerudung ke Tanah Abang, yang utama adalah kendaraan untuk pergi ke kantor.