"untuk membuat satu produk asuransi, saya musti bolak-balik ke OJK" cerita Bu Prisca
Begitu ketatnya aturan di OJK, JAGADIRI berkomitment memberi layanan yang semaksimal mungkin dan memudahkan. Membuat klasul dalam perjanjian, dipilih kalimat yang mudah dipahami dan dimengerti calon nasabah.
"Semudah mungkin dipahami sehingga nasabah tidak sekedar tanda tangan, nasabah tahu apa yang mereka beli " lanjut Bu Prisca.
Untuk sosialisasi dan edukasi, JAGADIRI menggandeng Kompasiana. Kredibilitas dari Kompas Group, menjadi pertimbangan utama. Dengan rendah hati bu Prisca mengakui, kesulitan mengenalkan asuransi JAGADIRI ke masyarakat kalau sendirian.
"Melalui tulisan teman-teman Kompasianer, kami berharap product kami semakin dikenal" ujarnya.
Mbak Ade beliau Marcomm JAGADIRI menambahkan, saat ini JAGADIRI mencari strategi dengan menggandeng komunitas. Khusus yang dilakukan dengan Kompasiana, berarti komunitas blogger (kompasianers). Kedepannya akan menjajaki kerjasama dengan komunitas lain, misalnya khusus untuk penggemar olah raga extrim.
"jadi sebelum panjat tebing, bisa beli asuransi JAGADIRI dulu" terang Mbak Ade sambil tersenyum.
Sebelumnya pernah kolaborasi dengan EO pagelaran musik, penonton yang hadir diasuransikan. Untuk antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, mengingat konser musik tak luput dari kericuhan.
Mas Jody dari Digital Center JAGADIRI, hadir juga pada Kopi Writing. Mengungkapkan rasa optimisnya, bahwa pada masa mendatang e-comerce akan menjadi gaya hidup. JAGADIRI adalah model product asuransi masa depan, calon pembeli bisa mempelajari dengan ujung jari. Dapat diakses kapanpun dimanapun, bisa dibeli dengan mudah pula. Menihilkan peran agent asuransi, sehingga calon pembeli bisa direct buying. Pada point direct selling inilah, sejatinya meniadakan komisi untuk agent. Sehingga harga menjadi relatif murah, perbulan cukup dengan Rp.60ribu.
Asuransi JAGADIRI pula menyediakan layanan, untuk memenuhi lifesytle se[erti Nobar di Blizt dan makan di rumah makan yang bekerjasama.
Trend yang sedang atau akan terjadi saya analogi kan, seperti awal lahirnya smartphone. Dulu menjelang tahun 2000, pertama kali saya membeli handphone. Kala itu harga smartphone relatif tinggi, belum lagi kartu perdana dan pulsa juga lumayan mahal. Handphone hanya untuk terima atau menelpon, kemudian ditambah sms (duplikasi dari pager). Seingat saya satu kali kirim sms, memakan pulsa setara dengan 250 rupiah.