Sebuah buku biografi seorang tokoh besar, pernah saya baca saat SD. Kisah itu begitu melekat di benak, hingga kini tak terhapus dalam ingatan.
Sosok bernama George Washington, adalah anak seorang tukang kayu. Lelaki kecil dari keluarga miskin papa, hidup dalam situasi berkekurangan. Kelak lelaki tak berpunya, menjadi orang pertama di America.
Kemudian sosok lain seorang Albert Einstein, masa kecilnya dikategorikan anak berkebutuhan khusus. Hyperaktif sampai guru di sekolah menyerah, menyarankan Enstein dibawa ke psikolog. Tak dinyana akhirnya memiliki otak genius, namanya terpahat sebagai ilmuwan dunia.
Sementara untuk tokoh dari dalam negri, (alm) Profesor Hembing seorang dokter dengan penemuan luar biasa. Beliau kerap memanfaatkan obat-obatan dari akar, daun atau kayu, berasal dari tumbuhan alami yang bisa ditanam sendiri. Masa kecil beliau yang memprihatinkan, berasal dari keluarga miskin di pelosok desa. Kelak menjadi ahli pengobatan terkemuka, dengan penemuan yang bermanfaat untuk orang banyak.
Saya yakin masih banyak nama lain, berasal dari keluarga memprihatinkan. Namun dengan tekad belajar kuat, bisa meraih kesuksesan sampai menyandang nama besar. Setiap keadaan memberi peluang, membentuk diri menjadi petarung handal sanggup menghadapi rintangan.
Lagi- lagi kata kuncinya, memiliki mental pejuang dan mental pemenang. Fasilitas yang berkelimpahan saja tak cukup, bila tak dibarengi dengan menanamkan mental pejuang dan mental pemenang. Setiap manusia tidak bisa terus menang (baca beruntung), namun kalau mengenggam mental pemenang. Saat berada pada posisi kalah, bisa mengambil hikmah dan bangkit mengejar harapan.
[caption caption="illustrasi- dokpri"]
Kualitas Sekolah dan Kualitas Siswa
"Al Usroh Madrosatul Ula", keluarga adalah sekolah yang pertama dan Benteng utama sebuah bangsa.
Orang tua (ayah dan Ibu) adalah guru utama, sebelum bapak/ibu guru di sekolah formal. Tak salah orang tua memutuskan, menyekolahkan anak-anak di sekolah ternama. Namun bukan berarti, menyerahkan sepenuh pendidikan pada sekolah tersebut. Dalam satu hari sepanjang 24 jam, anak-anak di sekolah sekitar (misal) 8 jam. Artinya sepertiga hari di sekolah, duapertiga waktu sisanya di luar sekolah. Orang tua harus mau memegang peranan, mengisi 16 jam waktu yang dimiliki anak.
Kalau di sekolah anak ditekankan, pada kemampuan akademik & kebiasaan baik. Harus dteruskan di rumah atau lingkungan terdekat, dengan kebiasaan sikap positif lainnya. Sehingga masing-masing berkesinambungan, saling mengimbangi dan sejalan.