Mohon tunggu...
Agung Digung
Agung Digung Mohon Tunggu... -

None

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komite Sekolah vs BP3 (Full Version)

3 Agustus 2013   08:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:41 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering



BP3

Saya masuk SMP tahun 1984. Waktu itu karena kondisi keuangan keluarga yang sedang krisis, impian saya untuk masuk SMP swasta favorit (jaman dulu, tidak seperti sekarang, SMP favorit kebanyakan swasta) mesti kandas. Sebagai gambaran, untuk masuk ke SMP favorit saya itu setidaknya perlu RP 20.000,- s.d. Rp 35.000,- sebagai uang gedung dan SPP kelas 1 minimal Rp 1.000,- Karena itu saya mendaftar ke sekolah negeri paling top di kota kami. Dalam bayangan orangtua, sekolah negeri bebas uang masuk dan SPP yang ringan serta kemungkinan mendapat bebas SPP karena ayah saya seorang veteran perang yang tergabung dalam LVRI.

Jadi, singkat cerita, masuklah saya di SMP negeri tersebut. Awalnya tidak ada uang masuk. SPP juga ditetapkan sebesar Rp 700,-, lebih murah dari minimal SPP SMP swasta favorit saya. Namun, belum sebulan saya sekolah, ada undangan untuk orangtua saya dalam rangka rapat orangtua murid dengan BP3. Mahkluk apakah BP3 itu saya tidak tahu. Kepanjangannya pun saya tidak tahu. Sampai sekarang.

Sepulang dari rapat itu, ayah saya marah-marah..... "Aku ini orangnya negara ... puluhan tahun berbakti pada negara. Sekarang menyekolahkan anakku di sekolahan punya negara pun disuruh bayar ....." Ributlah suasana rumah saat itu. Selidik punya selidik, ternyata hasil rapat (Note: Sebenarnya bukan rapat tapi cuma pemberitahuan saja. Istilah sekarang sosialisasi. Hasil akhirnya sudah diputuskan beberapa hari sebelumnya.) mengharuskan setiap siswa harus menyumbang Rp 25.000,- untuk pembangunan tempat ibadah. Dan, iuran BP3 ditetapkan sebesar Rp 750,- setiap bulannya.

Walah Mak! Jadi pakai uang gedung juga toh? Dan tiap bulan harus bayar SPP Rp 700,- + BP3 Rp 750,- = Rp 1.450,-. Jauh lebih mahal dari SPP SMP swasta favorit saya.

Ayah saya memutuskan tidak akan membayar uang gedung tersebut. Dan untuk memperingan biaya, saya mengajukan bebas iuran dengan status anak veteran. Setelah montang-manting ke sana-sini, akhirnya dapat persetujuan bebas biaya ... SPP. Aneh sekali iuran SPP bebas tetapi iuran BP3 tetap harus bayar. Apa boleh buat. Orang kecil seperti kami tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikutinya.

Akhirnya saya menjalani proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Setelah hampir tiga tahun, beberapa bulan menjelang EBTANAS, Kepala Sekolah memanggil saya. Di Ruangan Kepsek, saya dimarahi, dituduh menggelapkan uang pemberian orangtua untuk Sumbangan BP3 yg Rp 25.000,- itu. Saya tidak suka sama sekali dituduh seperti itu. Sepulang sekolah saya lapor ke ayah saya. Paginya Ayah saya menemui Kepala Sekolah di ruangannya. Ayah saya marah-marah kepada Kepala Seolah tersebut dan tanpa memberi kesempatan Kepala Sekolah, ayah saya meninggalkan uang Rp 5.000,- di meja Kepala Sekolah dan pulang. Untunglah insiden itu tidak berpengaruh dalam proses belajar mengajar saya. Saya tetap dapat mengikuti ujian dan lulus dari SMP negeri tersebut.

Mengenai BP3, sepanjang saya sekolah di situ, tidak sekali pun saya pernah melihatnya. Seperti hantu yang tidak kelihatan. Tidak ada kantornya, tidak ada pula batang hidungnya. Hanya uang saja yang dia sedot setiap bulan dari kantong kami yang sudah kering. Kelas dua, iurang BP3 sebesar Rp 800,- /bulan dan kelas tiga Rp 850,-/bulan. Naik Rp 50,- tiap tahunnya. Hasil kerjanya apa? Tidak usah ditanyakan. Wong penampakannya saja tidak pernah kelihatan. Siapa anggotanya, siapa ketuanya dan bagaimana rupa wajahnya. Saya tidak pernah tahu.

Mengenai ruang ibadah yang menjadi tujuan sumbangan BP3 itu? Sampai dengan saya lulus, tidak satu pun batu diletakkan untuk memmulai pembangunan ....



Komite Sekolah

Hidup selalu berputar dan life goes on.

Tahun ini giliran saya menjadi orangtua siswa untuk anak saya yang masuk SMP negeri paling top di kota kami. Alhamdulilah sekarang tidak ada BP3. Alhamdulilah mulai tahun ini tidak ada RSBI yang bisa mengutip pungutan seenaknya. Semua sekolah negeri menjadi sekolah reguler dan sekolah reguler dilarang menarik pungutan, menjual buku, menjual seragam dan lain-lain.

Semenjak hari pertama masuk di dahului dengan MOS (Masa Orientasi Siswa) semua lancar-lancar saja. Tidak ada biaya sepeserpun yang perlu kami bayarkan. Saya lega setengah mati. Di jaman susah begini adalah sekolah top dengan kelas berpendingin udara dan dilengkapi dengan LCD yang gratis tis. Optimisme saya, sekolah negeri lain menempelkan plakat di depan sekolahnya "Sekolah ini tidak memungut biaya apa pun!" ... Dalam hati, sama-sama sekolah reguler pasti sama juga.

Setelah MOS berakhir, malam-malam anak saya memberitahu saya kalau besok pagi ada pertemuan orangtua murid dan guru. Mendadak sekali? Besok kan Ayah banyak urusan ... Ya okelah. Demi anak, saya sempatkan datang.

Saya datang sedikit terlambat. Ruangan itu penuh sekali. Banyak orangtua murid membawa anaknya. Akibatnya, sebagian dari kami duduk di luar atau berdiri di dalam. Boleh pilih. Sound system sekenanya, sehingga suara sayup-sayup dan tak jelas yang sampai ke telinga saja. Pak Kepala Sekolah berdiri di panggung, presentasi dengan dibekali laptop dan proyektor. Menjelaskan mengenai Kalender Pendidikan yang bertele-tele dibahas bulan demi bulan sampai Juni 2014. Standar-standar saja. Lalu membahas Kurikulum 2013 di mana anak sekolah harus membawa tas-nya yang berat ke sana-ke mari sesuai jam pelajarannya. Ya sudahlah maunya negara seperti itu mana bisa dibantah. Membahas pertukaran pelajar dengan negara lain, di mana kalau berminat ya harus mendaftar dan biaya sendiri. Fair-fair saja. So far ..

Kemudian, Beliau menjelaskan mengenai operasional sekolah. Kalau dana BOS tidak mencukupi jika harus mempertahankan seperti waktu RSBI dulu. Kelas ber-AC, LCD TV, dan whiteboard. Jika tidak ada tambahan dana, bisa-bisa kembali ke jaman kapur ... barengan sama dinosaurus kali. Jadi, sekolah membutuhkan suntikan dana. Sesuai aturan, sekolah tidak bisa memungut biaya ... tetapi Komite Sekolah bisa. Jadi kalau kurang dana, sekolah tinggal bilang ke Komite Sekolah, kami kurang sekian-sekian-sekian. Komite Sekolah memungut dari orangtua siswa. Begitu kira-kira. Jangan khawatir, sekolah tidak akan ikut campur dalam urusan ini. Orangtua siswa urusannya sama Komite Sekolah. Bayarnya ke rekening Komite Sekolah. .... Uenak betul. Dosanya sana duitnya sini.

Di akhir presentasinya, Kepala Sekolah memperkenalkan seorang pria, perawakan kecil, usia kira-kira 35-an, berbaju putih, saya tidak dengan waktu Beliau sebut namanya. Yang terdengar hanyalah bahwa pria itu wakil dari Komite Sekolah. Dan Kepala Sekolah mempersilakan pria tersebut untuk memulai orasi ... eh maaf presentasinya. Maka tampillah Beliau dan bismillah...

Saya keluar ruangan dan mendekat ke arah pintu depan agar lebih jelas. Namun speaker di situ justru membuat suara pria tersebut makin tidak jelas. Kira-kira yang saya tangkap, nanti tiap kelas akan dibentuk dewan kelas dan berisi ketua dan bendahara (atau sekretaris atau wakil ... saya lupa. Pokoknya dua orang saja untuk satu kelas) yang dipilih di antara orangtua siswa. Nah melalui dewan kelas ini lah orangtua siswa berkomunikasi atau berhubungan dengan Komite Sekolah. Kemudian Komite Sekolah nanti yang akan berhubungan dengan sekolah. Jadi tidak boleh orangtua berhubungan langsung dengan sekolah ..... (Apa ini maksudnya saya tidak tahu. Barangkali ini implementasi Kepmendiknas No sekian-sekian-sekian tahun 2002 yang menyebutkan Komite Sekolah mempunyai fungsi mediasi. Padahal di dalam UU Diknas tidak ada fungsi mediasi buat Komite Sekolah). Acara belum selesai jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Saya harus bergegas pergi. Jadi saya tinggalkan tempat itu karena banyak sekali urusan lain yang harus saya lakukan hari itu.

Sepuluh hari kemudian, malam-malam, saya mendapat sms dari entah siapa. Namun ybs menyatakan mewakili dewan kelas anak saya. Beliau menyampaikan undangan agar esok hari menghadiri pertemuan orangtua siswa dalam rangka membahas sumbangan sekolah dan SPP sebagai tindak lanjut hasil pertemuan komite sekolah seminggu sebelumnya. Jadi saya balas, kenapa selalu mendadak mengirimkan undangan? Tetapi tidak ada jawaban ... Barangkali mereka berpikir semua orangtua siswa pensiunan sehinga setiap saat bisa hadir mengikuti pertemuan sekalipun mendadak undangannya. Karena tidak bisa hadir, saya forward sms tersebut ke istri saya agar dia yang menggantikan saya menghadiri pertemuan tersebut.

Besok malamnya saya telpon istri saya untuk menanyakan jalannya pertemuan tersebut. Istri saya kesal dan bilang kalau menyebalkan sekali. Pertemuan Komite Sekolah yang diceritakan di situ berlangsung tertutup sekali. Bahkan Wakil Dewan Kelas saja tidak diperkenankan masuk. Lalu diputuskan sekolah membutuhkan dana sekian milyar .... weleh .... dana BOS hanya 600 juta ... atau berapa gitu soalnya sinyalnya putus-putus. Untuk membangun mushola saja habis 700 juta ... lah tempat ibadah lagi .... perbaikan pintu WC habis 50 juta .... Jadi diputuskan oleh Komite Sekolah tiap siswa harus bayar sumbangan sekian juta ... plus SPP sekian ratus ribu per bulan. (Weleh-weleh .... jaman BP3 lagi. Bajunya saja yang ganti.) Dewan Kelas lain sudah sepakat, istri saya melanjutka, untuk mebayar separo dari sumbangan tersebut, sedang SPP tetap. Tinggal kelas anak kita yang belum putus. Demikian ceritanya, atau setidaknya begitulah yang saya tangkap.

Paginya saya mendapat sms dari nomer tidak dikenal yang dulu itu, mengabarkan bahwa berdasarkan rapat dengan komite sekolah, diputuskan sumbangan sebesar sekian juta untuk setiap anak dan SPP sebesar sekian ratus ribu per bulan. Pembayaran dapat ditransfer ke Rekening SMP Sekian ..... (Lha? Katanya rekening Komite Sekolah?). ... Lho jadi sudah diputuskan to?

Lalu pagi ini saya membaca artikel 6 hari lalu di

http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/07/26/mqi6fm-komite-sekolah-bisa-picu-pungutan



, yang di awalnya berbunyi sebagai berikut:



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia menyatakan komite sekolah berperan sebagai pihak yang memunculkan pungutan liar dalam pelaksanaan dan penerimaam peserta didik baru (PPDB) 2013. "Mereka menjadi agen untuk mewakili kepentingan sekolah, bukan kepentingan peserta didik," kata anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso.



Percaya apa tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun