Mohon tunggu...
Agustina Pandiangan
Agustina Pandiangan Mohon Tunggu... Relawan - Simple

Sedang berproses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku, Dia, dan Venus

17 Juli 2021   19:30 Diperbarui: 18 Juli 2021   00:35 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Creative Commons/Pixabay

Kami semakin dekat ke tujuan. Aku amati patung domba tadi. Astaga, patung domba bertanduk ular. Bulu kudukku mulai merinding lagi. Kami melangkah semakin dekat. Kami berhadapan langsung dengan patung domba itu. Sekujur tubuhku berkeringat. Detak jantungku berdegup lebih cepat ketika kulihat domba itu tersenyum. What? Apa-apaan ini? Sebuah patung tersenyum?

Sesaat kemudian, muncul seorang wanita dari balik patung domba itu. Wanita itu sangat cantik. Dia memiliki hidung yang mancung, dahi miring, dagu runcing tajam, bibir tipis, rambut hitam lurus sebahu, dan rongga mata yang tampak cekung. Dia memakai gaun panjang bewarna emas. Bagian atas agak terbuka sehingga nampaklah leher panjang dan pangkal payudara yang....

Dia tersenyum. Dia menyapa kami duluan.

"Selamat datang di Rumah Venus. Jika kau berhasil masuk, kau akan disambut sebagai keluarga. Jika kau tidak berhasil masuk, kau akan hangus terbakar. Tetapi, kau tidak usah takut. Aku di sini hendak membantumu masuk"

Wanita itu mengulurkan tangannya. Sementara dia, pria yang menggandeng tanganku tidak melepaskanku. Dia tidak rela aku pergi. Bagaimana ini? Jika aku tetap bersaamanya, belum tentu aku bisa masuk. Jika aku tidak berhasil masuk, aku akan hangus terbakar. Aku belum mau mati sekarang. Aku belum menikah. Aku belum mendaki gunung Kerinci dan masih banyak hal yang belum terwujud dalam hidupku. Aku bingung. Kepalaku terasa pusing. Aku mulai sulit bernapas, rasanya seperti tercekik. Tidak. Aku tidak boleh mati sekarang. Sekuat mungkin aku lepaskan tanganku dari genggamannya. Ketika aku mengulurkan tangan menyambut uluran tangan wanita itu, tiba-tiba muncul seekor ular dari punggungnya. Apa lagi ini? Kenapa harus ular? Apa tidak ada hewan lain? Aku benci ular.

Aku tidak percaya pada wanita itu karena ular. Tidak jadi kusambut uluran tangannya. Aku mengambil keputusaan untuk kabur. Aku berlari secepat mungkin. Waduh, sesampainya di pagar, aku kecewa. Pagar itu terkunci. Tidak ada cara selain memanjat. Aku terlatih memanjat pohon sejak kecil. Pagar pun pasti bisa kupanjat. Akhirnya, aku berhasil keluar.  Aku harus pulang. Aku tidak sudi berada di tempat menyeramkan. Patung-patung bermata merah, ular, dan wanita aneh itu, aku tidak sudi berhadapan dengan itu semua. Aku tidak sabar sampai di rumah. Aku melaju dengan langkah seribu.

Aku tiba di persimpangan. Lah, aku lupa. Tadi kami lewat dari jalan yang mana ya? Aku harus lewat mana ini? Kiri atau kanan? Aku mencoba mengingat kembali peristiwa ketika dia menarikku keluar. dia menggandeng tangan kiriku. Kami berjalan beriringan. Aku berada tepat di sebelah kanannya. Oh ya, aku ingat. Kami melewati satu pohon nangka. Aku memeriksa keberadaan pohon nangka di kedua jalan itu. Yess, aku menemukannya. Pohon nangka berada di jalan sebelah kanan. Aku mantapkan langkah. Aku belok kanan. Supaya cepat sampai, aku berlari kencang. Aku berlari sampai aku lelah. Gaun putih yang kupakai basah karena keringat. Ternyata, aku belum juga sampai. Padahal pohon nangka itu sudah lama kulewati. Suasana hatiku campur aduk antara menyesal, takut, bingung, dan rindu.

Aku menyesal ikut serta bersamanya. Aku takut sendirian di tempat aneh. Aku bingung harus berbuat apa? Aku rindu suasana rumah. Aku belum siap berpisah dengan mamak, bapak, dan adik-adik. Aku ingat sewaktu aku kecil, mamak berkata bahwa aku harus berdoa jika aku ketakutan. Aku pejamkan mata. Aku bersujud di jalan aspal itu. Itulah sujud terlama yang pernah kulakukan. Aku menangis.

"Ya Tuhan, sesulit inikah jalan pulang? Tolong berilah aku petunjuk-Mu. ..."

Aku masih pada posisi bersujud. Aku mencoba menghibur diri. Aku menyanyikan lagu kesukaan bapak.

"Nang dao tahe situjuonmi. Ndang maol tolhas tusi. Dipaima ho, tomuonNa ho. Tung sonang do dilambungNa ho" (Biarpun jauh tempat yang kau tuju. Biar susah mencapainya. Kau ditunggu-Nya, kau disambut-Nya. Berbahagia kau di dekat-Nya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun