Mohon tunggu...
Agustina Pandiangan
Agustina Pandiangan Mohon Tunggu... Relawan - Simple

Sedang berproses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku, Dia, dan Venus

17 Juli 2021   19:30 Diperbarui: 18 Juli 2021   00:35 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Creative Commons/Pixabay

Belum lama kami berjalan. Aku amati penampilanku karena khawatir tidak sepadan dengan penampilannya. Lagi-lagi aku heran. Pakaian yang aku pakai sebelumnya berubah. Tadinya aku pakai kaos lengan panjang, celana pendek, dan tanpa sendal/sepatu. Sekarang, aku berpenampilan seanggun mungkin dengan gaun pendek bewarna putih dan sepatu all star bewarna hitam. Sungguh ajaib. Aku teringat film Cinderella yang tiba-tiba berubah menjadi cantik pada malam hari untuk bertemu pangeran. Bedanya, Cinderella memakai sepatu kaca sementara aku memakai sepatu kets. Aku amati juga penampilannya. Kami sepadan, rupanya. Dia memakai kaos oblong bewarna putih, jeans hitam dan sepatu all star bewarna hitam pula. Sepertinya kami punya selera yang sama, pikirku.

Meskipun malam, tetap terlihat jalan aspal begitu terang. Cahaya bulan menerangi jalan kami. Dia kembali menggandeng tanganku. Dipandunya perjalanan kami menuju sebuah rumah mewah. Aku belum pernah melihat rumah semewah itu. Pekarangannya yang luas dikelilingi pagar besi hollow. Dua pohon palem tumbuh di sebelah kiri dan kanan pintu pagar. Temboknya seratus persen beton bewarna cream yang dipenuhi banyak sinar lampu bewarna senada, warna orange kemerah-merahan. Jika dilihat dari jauh, rumah itu tampak seperti venus. Teringat kata Venus, aku langsung keringatan. Di benakku, venus selalu dekat dengan matahari. Apa? Venus? Apakah sekarang aku sedang berada di Venus?

Kami masuk begitu saja karena pagarnya tidak terkunci. Perlahan tapi pasti, kami bejalan bersama, masih bergandengan. Kali ini aku yang menggenggam tangannya lebih erat. Aku takut. 

Di pekarangan rumah itu, banyak sekali patung hewan berjejer. Anehnya, mengapa semua patung bermata merah? Patung-patung itu seolah-olah bisa melihat meski tak bergerak. Patung yang pertama kami jumpai adalah patung ular. Aku terkejut. Lidahnya menjulur panjang nyaris mengenai lengan kananku. Spontan kurangkul dia. Kusembunyikan wajahku pada dadanya yang bidang. Dia balik merangkul serta menepuk-nepuk pundakku.

"Jangan takut. Aku di sini", katanya.

Patung kedua yang kami jumpai adalah macan tutul. Mulutnya terbuka. Terpampang gigi taring seolah siap menerkam pendatang baru seperti kami. Aneh. Tapi mengapa kakinya tampak seperti kaki beruang? Astaga, aku sedang dimana ini? Aku mulai keringat dingin. Sekujur tubuhku bergetar. Rupanya dia bisa merasakan ketakutanku. Kami bertukar posisi. Kali ini aku berada di sebelah kirinya. Masih bergandengan. Begitulah mungkin posisi lebih aman menurutnya.

"Jangan takut. Aku di sini", katanya lagi.

Aku tarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Aku pejamkan mataku sebentar. Aku berusaha men-sugesti diriku sendiri untuk tidak takut. Satu-satunya pilihan adalah percaya bahwa pria yang sedang menggenggam tanganku bisa menjagaku. Kami melangkah. Satu langkah-dua langkah-sepuluh langkah bahkan sampai duapuluh langkah, kami belum menemukan patung yang menyeramkan. Beberapa patung yang kami lewati seperti bebek, angsa, babi, sapi, dan kerbau. Rupanya tempat terkutuk ini tidak hanya dihuni oleh patung binatang buas, ada juga binatang ternak, pikirku. Aku percaya diri. Sesekali kuayunkan tangan kami yang sedang bergandengan. Aku senyum-senyum sendiri. Aku merasa nyaman.

Tak lama kemudian, dia berhenti duluan. Biasanya aku yang berhenti duluan. Kuperhatikan dia sedang memandang pintu rumah yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat kami berdiri. Di depan pintu itu, berdiri sebuah patung domba. Aku tidak takut. Itu hanya patung seekor binatang ternak, pikirku. Namun, dia memerhatikan patung itu begitu intens. Dia kembali meneguhkanku. Kali ini, dengan nada suara tegas.

"Gus, jangan takut. Seburuk apapun yang kau lihat nanti di depan pintu, kau tidak boleh kabur. Pegang saja tanganku erat. Jangan kau lepas"

Aku menganggukkan kepala, tanda setuju. Kami berjalan agak cepat. Sepertinya dia tidak sabar segera masuk ke rumah itu. Aku penasaran. Ada apa di dalam rumah? Untuk apa aku diajaknya ke sana? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun