Mohon tunggu...
Agrindo Zandro
Agrindo Zandro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agama Membina Mahasiswa Anti Radikalisme

11 Oktober 2021   12:00 Diperbarui: 11 Oktober 2021   12:06 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PAPER:

AGAMA MEMBENTUK KEPRIBADIAN MAHASISWA  ANTI-RADIKALISME

OLEH: 

AGRINDO ZANDRO 

 Abstrak

Tulisan ini meletakan fokus pada upaya-upaya agama dalam membina, membentuk, dan mempelopori mahasiswa anti radikalisme. Saya berusaha melihat lebih dalam bagaimana peran agama dalam membina generasi penerus bangsa yang saat ini sedang dalam masa-masa belajar mengenal dan memahami bagaimana menjalani hidup yang baik dan benar dalam ranah kebhinekaan. Kecenderungan terbesar yang tampak ialah sebagian besar mahasiswa turut ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan ekstrim dengan keinginan untuk merubah tatanan sosial dan politik dengan cara kekerasan dalam ibu pertiwi ini. Tentu saja tujuan dari kegiatan ini patut diapresiasi. Namun cara atau jalan menuju tujuan ini terlihat kurang bermartabat. Terdapat kerugian yang dihasilkan akibat gerakan radikal, seperti; rusaknya infrastruktur pemerintah. Agama sebagai badan atau sistem pembinaan moral harus hadir di tengah situasi yang tidak kondusif dalam negeri ini sebagai pembina hidup bukan malah menjadi promotor perpecahan. 

Kata Kunci: Agama, Radikalisme, Mahasiswa, Pembinaan.

Pengantar

Kehidupan di bumi ibu pertiwi mengalami masa yang tidak mudah. Radikalisme di berbagai aspek kehidupan terus berupaya menghantui ibu pertiwi lewat tindakan ekstrim dan juga anarkis yang dilakukan oleh anak-anak bangsa atau generasi penerus. Latar belakang dari gerakan radikal ini ialah kecintaan terhadap agama sendiri dan menjadikan yang berbeda sebagai musuh. Konflik bernuansa agama yang terjadi di Maluku dan Poso amat memprihatinkan kita dan merupakan ironi yang sulit bisa kita pahami. 

Bagaimana mungkin agama yang kita artikan sebagai lembaga mulia untuk mengangkat martabat dan derajat manusia bisa menjadi motivasi untuk bertikai, bahkan sampai menggunakan kekerasan yang tidak manusiawi?[1] Bila terjadi tindakan radikal yang termotivasi oleh kecintaan terhadap agama, maka terdapat kesalahan dalam penafsiran agama. 

Tulisan Bernadus yang merujuk pada gagasan Collin J. Beck menjelaskan bahwa radikal sebagai kata sifat, memberikan gambaran pada orang (pribadi atau kelompok), ide dan tindakan, atau pendapat di luar realitas politik kekinian, berorientasi pada perubahan subtansial pada bidang sosial, budaya, ekonomi, dan struktur politik; dan dilakukan oleh siapapun di luar sarana kelembagaan.

[2] Dalam pengertian ini, kita dapat memahami bahwa kata radikal itu sendiri sangat dekat dengan subyek tertentu, gagasan tertentu yang keduanya merujuk pada perubahan dalam seluruh aspek kehidupan. Radikalisme walaupun dalam beberapa konteks tidak selalu dipersepsikan dalam kacamata yang negatif, namun penggunaan kata radikalismetelah menjadi umum untuk merujuk pada suatu paham yang fundamental bahkan terejawantahkan dalam tindakan ekstrim dengan menolak segala bentuk perbedaan di luar dirinya atau kelompok.[3]

Agama yang berdiri di muka bumi sebagai sistem yang bukan saja mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tetapi juga harus mampu membina, membentuk, dan mengatur pola kehiduapan bersama dalam rangkaian yang serba berbeda. 

Dalam esensi agama yang hidup, terdapat berbagai unsur moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup yang baik dan benar di tengah hiruk-pikuknya radikalisme. Namun dalam kenyataannya, malah agama sendiri menjadi provokator yang mudah terbakar dalam gerakan bela iman secara radikal. Hal ini terjadi karena daya interpretasi yang minim mutu atau dengan kata lain nilai-nilai agama yang sejati telah pudar terkikis oleh pemikiran radikalisme, ekstrimisme, dan intoleransi.

Perlu dipahami keberadaan mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa, suatu kumpulan besar kaum cedekiawan yang pada masa depan akan merangkai dan mengatur jalannya kehidupan berbangsa, bernegara, dan juga beragama. 

Secara sederhana, mahasiswa merupakan orang-orang yang belajar di perguruan tinggi. Pada tahapan perguruan tinggi, setiap pribadi yang terlibat di dalamnya terbuka secara kognitif, afektif, dan sosial, untuk melakukan semacam perubahan ideal melalui gerakan-gerakan yang tegas dan cepat. 

Hal ini mungkin disebabkan oleh jiwa muda para mahasiswa yang begitu menggelegar. Kekuatan para mahasiswa begitu kuat sehingga tak jarang terjadi begitu banyak kegiatan politis konkrit yang dilakukan oleh mahasiswa baik di level kampus, kota, kabupaten, maupun nasional. 

 

Agama dan Mahasiswa

Secara umum dapat kita ketahui dengan pasti bahwa kebanyakan hampir seluruh mahasiswa di Indonesia memeluk agama tertentu. Di Pulau Jawa mayoritas Islam, di bagian NTT mayoritas Katolik, di bagian Sumatera Utara mayoritas Protestan, di Bali mayoritas Hindu, dan lain sebagainya. Semua mahasiswa yang beragama ini tentu memiliki pegangan yang baik bagi kehidupan dalam konteks kebhinekaan Indonesia. 

Peran dari agama sangat genting dalam situasi radikal. Eksistensi agama sangat berpengaruh dalam membina keutuhan sosial masyarakat multikultural. Hans Kung dalam tulisan A. Sudiarja tentang agama, begitu yakin dengan eksistensi agama melalui pernyataan bahwa perdamaian antara bangsa-bangsa tidak akan terwujud sebelum ada perdamaian antaragama.[4] 

Banyak ahli kebudayaan di abad lalu mengemukakan keyakinannya bahwa kehidupan modern yang menjanjikan kehidupan sekuler yang nyaman, aman, dan makmur akan membuat agama lenyap dan hilang perannya dalam kehidupan sosial. Keyakinan itu bukan tanpa dasar, sebab eksistensi agama selama ini memang kurang ramah dengan 'kehidupan duniawi'. 

Keagamaan malah sering memperlihatkan pertikaian dan peperangan satu sama lain yang tidak disukai oleh kaum humanis.[5] Terdapat satu spekulasi dari wacana ini bahwa bila agama gagal dalam mewujudkan perdamaian dunia, maka eksistensinya tidak punya arti. Dan bila tidak punya arti, dengan segera agama lenyap dari muka bumi. Bagaimana agama mengajarkan kehidupan penuh damai dan persaudaraan di surga, bila kehidupan bersama di dunia saja tidak bisa mungurusnya? Agama harus menunjukan keberadaannya. Agama harus menunjukan bahwa ia benar-benar hidup dan bahwa ia mampu membina seluruh manusia.

Mahasiswa yang beragama adalah mahasiswa yang memiliki estetika ilahi yang kemudian membimbingnya kepada kehidupan sosial dalam masyarakat luas. Hal ini ditunjukan dalam kenyataan bahwa mahasiswa masih mau memeluk agama dan masih mau mempercayai kehidupan ilahi yang akan terjadi di masa depan serta dalama agama itu sendiri, seorang mahasiswa dapat menikmati indahnya berorganisasi sosial untuk mewujudkan target-target konkret bagi masyarakat tertentu tempat dia tinggal. Agama dalam hal ini bertugas mengarahkan seorang mahasiswa dalam pendidikan formal di lembaga pendidikan untuk berani mengambil bagian secara aktif partisipatif dalam hidup bermasyarakat.

Agama sebagai promotor hidup bermasyarakat yang benar, memiliki dua unsur teologis yang sangat bermanfaat untuk menumbuhkan spirit konstruktif dalam diri mahasiswa. Dua nilai atau unsur ini dimiliki oleh setiap agama yaitu iman dan harapan. Iman dan harapan mempunyai peran yang sangat penting. Iman memberi keyakinan bahwa kepribadian ideal yang menjadi cita-cita bersama adalah benar. Harapan menumbuhkan sikap optimis dalam hidup dan keyakinan akan kemampuan untuk berkembang menjadi 'seseorang' bukan hanya 'sesuatu'. 

Agama memberi pandangan hidup, yang mengarahkan cita-cita lewat cara berpikir dan sikap batin setiap hari.[6] Dengan iman dan harapan, tentu secara spiritual agama dapat mengundang setiap kalangan terutama para mahasiswa untuk terlibat aktif dalam kehidupan bermasyarakat yang baik dan benar. Dan dengan demikian mampu menuntun kehidupan bersama menjadi aman, nyaman, damai, rukun, sejahtera dan lebih dari itu, mampu membimbing seluruh manusia kepada pemenuhan hidup yang semakin bermartabat.

 

Agama Menangkal Radikalisme

Pada umumnya, kita mengetahui bahwa gerakan radikalisme yang sering terjadi dilatarbelakangi oleh kecintaan terhadap agama. Kecintaan yang berlebihan terhadap agama menuntut secara tidak sadar kepada pola pikir ekslusif yang kemudian menggiring seseorang pada tindakan radikalisme. 

Dalam tulisan Bernadus yang mengacu pada survei dari Wahid Foundation dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dirga Maulana dalam "Gelembung Ketidaksadaran", menguraikan bahwa pendidikan agama di Indonesia saat ini masih menjadi amat ekslusif, monoton, radikal dan cenderung menghambat kebebasan berekspresi. Gelembung ketidaksadaran ini menghantar mereka kepada sikap ekslusif dan intoleran.[7] Ketidaksadaran akan cinta yang mendalam menjerumuskan seseorang, terutama kaum mahasiswa ke dalam gerakan pemecah persatuan hidup bermasyarakat yang serba beragam. 

Setiap agama tentu memiliki sifat dan ajaran tertentu yang berbeda-beda. Namun, pada intinya semua agama berpihak pada kehidupan manusia. Tidak ada agama yang keberadaanya mengancam kehidupan manusia. Hal ini tampak nyata dalam sejarah berdirinya agama-agama primitif yakni agama adalah sebuah sistem yang membuat manusia bertahan hidup. 

Di zaman Paleolitik, nenek moyang kita hidup dengan berburu di alam liar, di dataran gersang atau hutan. Cara bertahan hidup demikian melahirkan bentuk keyakinan yang disebut Shamanisme. Kepercayaan ini mengajarkan manusia untuk menggabungkan dunia kehidupan binatang dengan ruh alam untuk mengembangkan perasaan simpati terhadap alam sekitar.

[8] Kenyataan historis ini menghantar kita kepada pengetahuan hakiki bahwa agama memiliki esensi yang membela, memilih, dan menguatkan kehidupan manusia secara nyata dalam perjuangan memenuhi kebutuhan hidup. Bukan sebaliknya; merusak, melenyapkan, dan membinasakan keberadaan manusia secara umum. 

Agama memiliki berbagai macam nilai pedagogis yang mampu menangkal aliran radikalisme. Dalam realita kita melihat bahwa begitu banyak perubahan yang kita alami dan itu biasa adanya. Perubahan itu begitu dahsyat dan luas serta terjadi di berbagai sektor kehidupan dan dengan demikian mempengaruhi karakter psikologis mausia dalam rangka penyesuaian diri terhadap tuntutan zaman. 

Agama sebagai salah satu aspek kehidupan pun turut mengalami perubahan. Namun, perubahan yang dilakukan oleh agama berbeda dengan aspek hidup lainnya. Perubahan agama cenderung ke arah bertahana atau agama menghidupkan kembali tradisi dengan gaya yang berbeda.

Agama memiliki suatu unsur lain yang mampu menusuk masuk dalam pola kehidupan modern ini, yakni spiritualitas. Spiritualitas dalam agama memiliki daya yang begitu kuat. Spiritualitas lahir atas dasar pengolahan yang terjadi secara personal. 

Refleksi yang dihasilkan dari unsur spiritualitas agamis yang tepat akan membantu proses filterisasi bagi masuknya paham religius yang keliru. [9]Nilai-nilai kehidupan yang baik mampu dianut oleh seseorang lewat spiritualitas agamis. Dan dengan demikian lewat cara sederhana seperti ini, agama mampu menangkal aliran radikalisme yang ada di sekitar kehidupan manusia. 

Penangkalan ini pada lain pihak dapat dilakukan dengan cara melakukan pendekatan secara refleksi teologis yang berwawasan dialogal; dan pendektan itu lahir dari suatu metode teologi.[10] Tom Jacobs menjelaskan bahwa teologi bukan ilmu lepas, melainkan perumusan pengalaman iman (Banawiratma 2001: 120). Dan dengan demikian pendekatan ini dapat dilakukan oleh siapapun kepada siapa pun juga sebab semua orang dari berbagai kalangan dapat mengerti hal itu.

Agama Membina Mahasiswa 

Agama sebagai instrumen yang membina pola hidup manusia yang dalam tulisan ini adalah kaum mahasiswa, perlu diidentikan dalam diri mahasiswa itu sendiri atau menyibak keagamaan sebagai identitas. 

Dalam perspektif Kristen, iddentitas keagamaan mulai menguat ketika ada pertemuan kekristenan dengan agama-agama lain.[11] Agama yang telah teridentifikasi dalam secara utuh dalam tiap pribadi mahasiswa, tentu mengendapkan spirit-spirit bawaan dari agama itu sendiri. Spirit yang dimaksud ialah hal-hal positif yang mampu membantu terbentuknya kehidupan yang harmonis dan dipelopori oleh mahasiswa sendiri. Pada akhirnya, dapat kita spekulasikan bahwa semua cara atau pendekatan dialektis hanya terarah pada terbentuknya sikap toleransi dalam diri para mahasiswa yang benar-benar mempribadi. 

 

Sikap saling toleransi yang dibentuk oleh agama pada perkembangan selanjutnya menjadi sikap yang saling membiarkan untuk bertumbuhnya keyakinan-keyakinan asing. Toleransi tentu dibina oleh agama itu sendiri yang tidak berdiri secara pasif dan menonton hiruk-pikuk kehidupan sosial, melainkan turut ambil bagian hingga sikap tersebut sampai pada tingkatan yang lebih bebas dan luas, yakni toleransi respek. Toleransi respek tidak bersifat vertikal tetapi horisontal sebab berhubungan dengan sikap seseorang terhadap yang lain dalam relasi sosial. Kendati keyakinan religius berbeda, sesame saling mengakui sebagai warga yang setara.[12] 

Agama yang berkiprah di ruang public serta mampu menerjemahkan potensialitasnya dalam ungkapan nalar publik dapat memperkokoh solidaritas dalam masyarakat plural kontemporer. 

Dengan demikian bahaya-bahaya sektarianisme, intoleransi, dan fundamentalisme religius dapat diatasi. Agama tidak lagi dipandang sebagai pemicu konflik dan tempat bercokolnya ideologi esklusif, tapi memperkokoh toleransi sebgai pilar penyanggah kehidupan bersama yang inklusif.[13] Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa dan juga sebagai seseorang yang beridentitaskan keagamaan sejati perlu menanamkan makna hakiki dari agama ini. Agama sudah berusaha dengan keras maka dituntut juga keterbukaan dari mahasiswa bagi agama itu sendiri. Sehingga radikalisme dapat dihapus dari muka bumi ini. 

Penutup

Kesenjangan sosial yang terjadi karena gerakan beraliran radikalisme yang dilatarbelakangi oleh agama memang nyata. Hal ini menunjukkan kenyataan bahwa orang tertentu memanfaatkan agama sebagai jalan untuk membuat ulah kejahatan kepada yang berbeda. 

Tentu hal ini berlawanan dengan tujuan agama yang sejati, yaitu sebagai wadah terbentuknya kerukunan, perdamaian, dan keharmonisan hidup bersama dalam ranah pluralism. Mahasiswa diajak dan dibina menjadi pribadi yang anti ajaran radikalisme melalui pendidikan agama yang benar-benar berpihak pada kehidupan manusia. Spiritualitas agamis, toleransi, dan budaya respek terhadap perbedaan harus benar-benar tertanam dalam pribadi mahasiswa.

Perhatian lebih harus disadurkan bagi sikap-sikap intoleran, anti pluralisme, dan segmentasi kelompok yang berjalannya waktu tumbuh dalam diri tiap pribadi mahasiswa baik melalui pergaulan bebas atau pun lewat kehidupan organisasi kategorial tertentu. Fenomena-fenomena ini bertumbuh secara perlahan dan pada waktunya akan menghancurkan ajaran-ajaran agama dan kemudian menghancurkan tatanan hidup bersama yang semangat toleransi dan pluralistis. 

Daftar Pustaka

Buku: 

Heuken, Adolf, dkk, 1984. Tantangan Membina Kepribadian, Yogyakarta: Cipta Loka Caraka.

Khudori, Darwis, dkk, 2009. Gerakan Politik Berbasis Agama, Yogyakarta: Universitas Sanata Darma.

Sudiarja, A, 2006. Agama yang Berubah, Yogyakarta: Kanisisus.

 

Jurnal:

 

Bernadus, Wacana Menangkal Radikalisme pada Generasi Milenial, dalam Jurnal Forum Vol. 48, No. 2, 2019.

Otto G. Madung, Toleransi dan Diskursus Post-Sekularisme, dalam Jurnal Ledalero Vol. 15, No.2, 2016.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun