Mohon tunggu...
Agrindo Zandro
Agrindo Zandro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agama Membina Mahasiswa Anti Radikalisme

11 Oktober 2021   12:00 Diperbarui: 11 Oktober 2021   12:06 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keagamaan malah sering memperlihatkan pertikaian dan peperangan satu sama lain yang tidak disukai oleh kaum humanis.[5] Terdapat satu spekulasi dari wacana ini bahwa bila agama gagal dalam mewujudkan perdamaian dunia, maka eksistensinya tidak punya arti. Dan bila tidak punya arti, dengan segera agama lenyap dari muka bumi. Bagaimana agama mengajarkan kehidupan penuh damai dan persaudaraan di surga, bila kehidupan bersama di dunia saja tidak bisa mungurusnya? Agama harus menunjukan keberadaannya. Agama harus menunjukan bahwa ia benar-benar hidup dan bahwa ia mampu membina seluruh manusia.

Mahasiswa yang beragama adalah mahasiswa yang memiliki estetika ilahi yang kemudian membimbingnya kepada kehidupan sosial dalam masyarakat luas. Hal ini ditunjukan dalam kenyataan bahwa mahasiswa masih mau memeluk agama dan masih mau mempercayai kehidupan ilahi yang akan terjadi di masa depan serta dalama agama itu sendiri, seorang mahasiswa dapat menikmati indahnya berorganisasi sosial untuk mewujudkan target-target konkret bagi masyarakat tertentu tempat dia tinggal. Agama dalam hal ini bertugas mengarahkan seorang mahasiswa dalam pendidikan formal di lembaga pendidikan untuk berani mengambil bagian secara aktif partisipatif dalam hidup bermasyarakat.

Agama sebagai promotor hidup bermasyarakat yang benar, memiliki dua unsur teologis yang sangat bermanfaat untuk menumbuhkan spirit konstruktif dalam diri mahasiswa. Dua nilai atau unsur ini dimiliki oleh setiap agama yaitu iman dan harapan. Iman dan harapan mempunyai peran yang sangat penting. Iman memberi keyakinan bahwa kepribadian ideal yang menjadi cita-cita bersama adalah benar. Harapan menumbuhkan sikap optimis dalam hidup dan keyakinan akan kemampuan untuk berkembang menjadi 'seseorang' bukan hanya 'sesuatu'. 

Agama memberi pandangan hidup, yang mengarahkan cita-cita lewat cara berpikir dan sikap batin setiap hari.[6] Dengan iman dan harapan, tentu secara spiritual agama dapat mengundang setiap kalangan terutama para mahasiswa untuk terlibat aktif dalam kehidupan bermasyarakat yang baik dan benar. Dan dengan demikian mampu menuntun kehidupan bersama menjadi aman, nyaman, damai, rukun, sejahtera dan lebih dari itu, mampu membimbing seluruh manusia kepada pemenuhan hidup yang semakin bermartabat.

 

Agama Menangkal Radikalisme

Pada umumnya, kita mengetahui bahwa gerakan radikalisme yang sering terjadi dilatarbelakangi oleh kecintaan terhadap agama. Kecintaan yang berlebihan terhadap agama menuntut secara tidak sadar kepada pola pikir ekslusif yang kemudian menggiring seseorang pada tindakan radikalisme. 

Dalam tulisan Bernadus yang mengacu pada survei dari Wahid Foundation dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dirga Maulana dalam "Gelembung Ketidaksadaran", menguraikan bahwa pendidikan agama di Indonesia saat ini masih menjadi amat ekslusif, monoton, radikal dan cenderung menghambat kebebasan berekspresi. Gelembung ketidaksadaran ini menghantar mereka kepada sikap ekslusif dan intoleran.[7] Ketidaksadaran akan cinta yang mendalam menjerumuskan seseorang, terutama kaum mahasiswa ke dalam gerakan pemecah persatuan hidup bermasyarakat yang serba beragam. 

Setiap agama tentu memiliki sifat dan ajaran tertentu yang berbeda-beda. Namun, pada intinya semua agama berpihak pada kehidupan manusia. Tidak ada agama yang keberadaanya mengancam kehidupan manusia. Hal ini tampak nyata dalam sejarah berdirinya agama-agama primitif yakni agama adalah sebuah sistem yang membuat manusia bertahan hidup. 

Di zaman Paleolitik, nenek moyang kita hidup dengan berburu di alam liar, di dataran gersang atau hutan. Cara bertahan hidup demikian melahirkan bentuk keyakinan yang disebut Shamanisme. Kepercayaan ini mengajarkan manusia untuk menggabungkan dunia kehidupan binatang dengan ruh alam untuk mengembangkan perasaan simpati terhadap alam sekitar.

[8] Kenyataan historis ini menghantar kita kepada pengetahuan hakiki bahwa agama memiliki esensi yang membela, memilih, dan menguatkan kehidupan manusia secara nyata dalam perjuangan memenuhi kebutuhan hidup. Bukan sebaliknya; merusak, melenyapkan, dan membinasakan keberadaan manusia secara umum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun