Ketika kembali ke kelas aku terkaget melihat pekerjaanku yang tadinya rusak karena kulempar ke arah Zam menjadi sangat bagus sekali. Di atas meja sudah berdiri kokoh dan rapi sebuah hiasan dari kaleng biscuit yang lain namun dengan cat yang lebih berwarna dan indah.
Aku palingkan wajahku seketika ke arah Vera yang bersamaku. Ia membalasnya dengan tersenyum datar. Teman-teman di kelas bilang bahwasanya yang mengerjakan adalah Zam. Saat ini ia sedang tidak ada di kelas mungkin sedang keluar atau apalah aku tidak mengerti. Disaat teman-teman yang lain sedang sibuk mengerjakan dan menyelesaikan ia justru menghilang.
Tidak lama dia datang dengan membawa kaleng biscuit baru. Belum diapakan kecuali hanya kaleng biscuit. Jam pelajaran rupanya sudah tidak lama lagi akan berakhir sehingga tidak mungkin sekali ia mengerjakannya sedari awal. Saat sedang menuju kursi tempat duduknya ia melewati tempatku dan berhenti tepat di depanku sembari menjulurkan tangan.
"Maafkan aku pus." Ia tersenyum menghadapku.
Ku tatap wajahnya lamat-lamat semakin sepat sekali. Terkesan geli dengan tingkahnya dan kelakuannya. Namun aku membuang pandangan darinya sembari menjulurkan tangan dengan sangat-sangat berat hati sembari mendengus kecil “Besok juga paling gitu lagi”.
Aku merasa tidak ada yang perlu dikatakan kepada Zamkarena telah memberikan tugasnya kepadaku. Semua itu terjadi karena memang kesalahannya.
Sesampai dirumah aku langsung menceritakannya pada ibu tentang watak seorang temanku. Ternyata ibu tidak memberikan solusi apapun kepadaku dan menekanku untuk menyelesaikan sendiri masalahku. Dengan demikian pesan yang tersirat dari ucapannya aku tangkap untuk selalu kuat menghadapi seorang pria seperti Zam.
Hari demi hari aku lalui dengan biasa saja. Di kelas seperti biasanya Zam selalu berbuat hal yang tidak lazim dengan iseng kepada teman-temannya. Pernah suatu ketika seseorang cowok dari kelas lain datang kepadaku dan mengajakku makan. Karena kondisiku sudah kenyang aku menolak ajakannya. Sedikit memaksa akhirnya tidak enak aku berjalan dengannya.
“Hati-hati jalan sama puspa minta bayarin loh.” Suara itu terdengar cukup membuat beberapa orang di kelas mendengarnya. Ternyata itu adalah suara Zam seketika aku menangis dan berlari keluar kelas. Sang cowok yang mengajakku menuju kantin segera mengejarku dan menarik dengan cepat tanganku.
"Sudahlah jangan diambil pusing, Zam memang perlu diberi pelajaran." Ujar dendi dengan sangat marah.
Aku hanya bisa menangis sembari menyandarkan tubuhku padanya. Sampai akhirnya aku tersadar bahwasanya aku bukanlah siapa-siapa dirinya. Untuk apa aku harus bersandar menjatuhkan tubuhku padanya. Sudah tidak mendapatkan mood kembali akhirnya aku kembali ke kelas.