Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ternyata Dirinyalah yang Menjadi Pahlawanku

14 Oktober 2016   20:52 Diperbarui: 14 Oktober 2016   21:13 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Puspa, aku adalah seorang murid baru di sekolah ini. Menjadi seorang murid yang baru di sekolah ini membuatku mendapatkan perhatian lebih dari banyak murid. Terutama para cowok yang berusaha mendekat dan ingin berkenalan denganku. Karena tidak ingin dikatakan sombong akupun menerima perkenalan dari mereka.

Hari demi hari kulewati dengan biasa saja. Hingga akhirnya banyak orang yang mencoba melanjutkan berhubugan denganku yang lebih serius. Semakin banyak ajakan beberapa orang semakin membuatku justru menghindar dari mereka. Dari awal sudah berkomitmen untuk selektif untuk berkenalan atau menjalankan hubungan dengan orang lain, apalagi aku baru mengenalinya.

Sampai suatu ketika aku tidak mengerti mengapa perasaan itu tiba-tiba muncul. Zam seorang lelaki berbadan gempal menarik perhatianku. Bukan seorang remaja yang tampan ataupun memiliki banyak uang, melainkan memiliki kepribadian yang memang pantas dikatakan sebagai seorang lelaki. Dia sendiri duduk tepat dibelakangku. Dikelas terlalu berisik dan cenderung suka jail kepada orang lain. Namun dibalik kejailannya rupanya dia adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab..

Beberapa kali ia ku ketahui selalu membuat masalah dengan orang lain namun dia mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya. Dia tidak lari ataupun mengelak dengan apa yang sudah diperbuatnya. Pernah aku memiliki masalah dengannya ketika saat itu pelajaran seni rupa. Kami sekelas diminta untuk membuat kerajinan dari kaleng biskuit untuk dihias dengan cat air.

Saat kepunyaanku sudah selesai aku menjemurnya di depan kelas, tepat di bawah sinar matahai. Beberapa saat kemudian aku kembali untuk mengambil kaleng yang tadi ku keringkan, betapa kagetnya ketika aku tahu ternyata kaleng Zam berada di tempatku, sedangkan kepunyaanku dipindahkannya ke tempat yang lain. Aku jengkel dengan hal demikian sehingga aku melempar kepunyaanku langsung ke arahnya dan seketika aku meninggalkannya pergi ke kamar mandi untuk meluapkan kekesalannya.

Di temani oleh seorang sahabatku vera dia mencoba untuk menghiburku pelan.

"Sudahlah pus Zam memang seperti itu orangnya." Seru vera sembari mengelus rambutku dengan halus.

"Tapi ini keterlaluan ver, gabisa didiamkan terus orang seperti ini." Aku menyeringai datar dengan intonasi suara yang keras.

Vera tersenyum ke arahku seolah-olah tidak terjadi apa-apa denganku.  Mungkin benar aku yang salah hingga sampai terpancing marah sedemikian. Namun memang ini adalah puncak kemarahanku kepadanya. Tidak pernah ada cowok yang mencoba untuk berbuat demikian kepadaku. Namun dirinya bukan siapa-siapa justru berbuat demikian kepadaku.

"Dia memang seperti itu orangnya Pus. Percayalah dia tidak akan mungkin jahat kepadamu." Vera mencoba meluluhkan hatiku.

Sudah puas meluapkan emosi dan berteriak di kamar mandi segera kubasuh wajahku dengan air. Mengelapi seluruh permukaan wajah demikian. Dari dahi hingga telingaku. Semua terasa lebih segar dan sejuk dan segera kembali aku kelas.

Ketika kembali ke kelas aku terkaget melihat pekerjaanku yang tadinya rusak karena kulempar ke arah Zam menjadi sangat bagus sekali. Di atas meja sudah berdiri kokoh dan rapi sebuah hiasan dari kaleng biscuit yang lain namun dengan cat yang lebih berwarna dan indah.

Aku palingkan wajahku seketika ke arah Vera yang bersamaku. Ia membalasnya dengan tersenyum datar. Teman-teman di kelas bilang bahwasanya yang mengerjakan adalah Zam. Saat ini ia sedang tidak ada di kelas mungkin sedang keluar atau apalah aku tidak mengerti. Disaat teman-teman yang lain sedang sibuk mengerjakan dan menyelesaikan ia justru menghilang.

Tidak lama dia datang dengan membawa kaleng biscuit baru. Belum diapakan kecuali hanya kaleng biscuit. Jam pelajaran rupanya sudah tidak lama lagi akan berakhir sehingga tidak mungkin sekali ia mengerjakannya sedari awal. Saat sedang menuju kursi tempat duduknya ia melewati tempatku dan berhenti tepat di depanku sembari menjulurkan tangan.

"Maafkan aku pus." Ia tersenyum menghadapku.

Ku tatap wajahnya lamat-lamat semakin sepat sekali. Terkesan geli dengan tingkahnya dan kelakuannya. Namun aku membuang pandangan darinya sembari menjulurkan tangan dengan sangat-sangat berat hati sembari mendengus kecil “Besok juga paling gitu lagi”. 

Aku merasa tidak ada yang perlu dikatakan kepada Zamkarena telah memberikan tugasnya kepadaku. Semua itu terjadi karena memang kesalahannya.

Sesampai dirumah aku langsung menceritakannya pada ibu tentang watak seorang temanku. Ternyata ibu tidak memberikan solusi apapun kepadaku dan menekanku untuk menyelesaikan sendiri masalahku. Dengan demikian pesan yang tersirat dari ucapannya aku tangkap untuk selalu kuat menghadapi seorang pria seperti Zam.

Hari demi hari aku lalui dengan biasa saja. Di kelas seperti biasanya Zam selalu berbuat hal yang tidak lazim dengan iseng kepada teman-temannya. Pernah suatu ketika seseorang cowok dari kelas lain datang kepadaku dan mengajakku makan. Karena kondisiku sudah kenyang aku menolak ajakannya. Sedikit memaksa akhirnya  tidak enak aku berjalan dengannya.

“Hati-hati jalan sama puspa minta bayarin loh.” Suara itu terdengar cukup membuat beberapa orang di kelas mendengarnya. Ternyata itu adalah suara Zam seketika aku menangis dan berlari keluar kelas. Sang cowok yang mengajakku menuju kantin segera mengejarku dan menarik dengan cepat tanganku.

"Sudahlah jangan diambil pusing, Zam memang perlu diberi pelajaran." Ujar dendi dengan sangat marah.

Aku hanya bisa menangis sembari menyandarkan tubuhku padanya. Sampai akhirnya aku tersadar bahwasanya aku bukanlah siapa-siapa dirinya. Untuk apa aku harus bersandar menjatuhkan tubuhku padanya. Sudah tidak mendapatkan mood kembali akhirnya aku kembali ke kelas.

*

Pengumuman kenaikan kelas akhirnya tiba. Nilai raporku terbilang baik semoga saja ditempatkan di kelas unggulan. Tidak hanya itu harapan terbesarku adalah tidak satu kelas lagi bersama Zam. Sudah kelas dua belas dimana kita harus fokus untuk menghadapi ujian nasional. Jikalau masih saja satu kelas dengannya itu bisa membuatku semakin gila.

Namun harapanku seolah sirna ketika aku melihat bersama teman-teman di mading umum sekolah. Aku mendapatkan kelas unggulan. Namun begitu pula dengan Arya. Dia memang cerdas namun mengapa harus lagi sekelas denganku. Tidak terima dengan itu semua aku langsung menghadap kepala sekolah untuk merubah kembali ruang kelasku dengan alasan tidak ingin sekelas dengan Zam.

Kepala sekolah enggan menerima permintaanku. Akhirnya karena tidak terima aku menghubungi kedua orang tuaku dan berharap mereka bisa membantuku untuk memohon kepada kepala sekolah. Namun kedua orangtuaku tidak mau menuruti permintaanku dan berusaha untuk menyelesaikan segala masalahku sendiri. Sudah dewasa tidak boleh meminta dan memohon kepada orangtua.

Beruntung aku masih memiliki seorang sahabat dan sekelas lagi denganku yaitu Vera. Dia sekelas kembali denganku. Akhirnya kuputuskan kembali untuk duduk dengannya. Dan lagi-lagi Zam orang yang paling kubenci duduk di belakangku. Berkali-kali aku bertukar tempat duduk tetap saja ia membuntutiku kemanapun aku pergi.

Sempat waktu itu hal yang sangat memuakkan dalam hidupku terjadi. Saat pelajaran matematika dengan guru yang terkenal killer Zam ditunjuk untuk menyelesaikan tugas yang sudah dituliskan di papan tulis. Sangat menakjubkan sekali saat itu ketika dirinya mampu mengerjakan semuanya dengan sangat baik. Sang guru mengapresiasikan apa yang sudah dikerjakan oleh Zam.

Namun tidak disangka-sangka ia justru mencoba menghinaku di depan teman satu kelas. Ia menunjukku selanjutnya untuk maju, karena memang seperti itulah peraturannya. Siapapun yang sudah mengerjakan harus menunjuk kawannya yang lain. Aku semakin marah kepadanya. Berusaha untuk maju dan menuliskan di depan kelas soal yang tidak sama sekali aku mengerti. Akhirnya seluruh kelas menyorakiku dan guru memberikan teguran untukku. Terlihat Zam sedang tertawa menertawakanku.

Langsung seperti biasa aku berlari ke kamar mandi. Seorang sahabatku yang tidak lain adalah Vera membuntutiku berlarian seorang diri. Di kamar mandi lagi-lagi aku menangis dengan sangat keras sembari memukul-mukul kaca yang ada di sana.

"Pus jangan terlalu diambil hati. Zam memang seperti itu." Suara Vera lembut mencoba menasehati.

Apa? Sudah berapa kali aku dibuat malu bahkan dihinakan di depan semua teman? Kau bilang cukup? Aku menyeringai memandang wajah Vera yang sedang berusaha menasehatiku dengan lembut.

*

Ujian semester pertama hari ini adalah matematika. Aku berencana datang pagi agar bisa bertemu dengan teman-temanku. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Belum ada teman-temanku yang hadir disana. Akhirnya segera aku masuk ke dalam kelas seorang diri. Ketika masuk aku terkaget ketika Zam justru keluar dari dalam kelas. Ia berpapasan denganku saat ingin keluar. Tidak ada sedikit katapun yang keluar dari mulutku kecuali hanya membuang muka dan pura-pura tidak mengetahui.

Zam yang berjalan berpapasan denganku mencoba memberikan senyuman. Namun aku menolak untuk dia senyumkan dan berjalan menuju tempat dudukku. Beberapa nomor peserta sudah tertempel pada meja. Dan setelah kutelusuri langsunglah aku mendapatkan tempat dudukku dan kemudian duduk. Aku belajar sendiri membuka buku catatan, tidak lama kelas ramai dan banyak orang yang datang. Vera sahabatku datang menghampiri dan kami belajar bersama.

Bel berbunyi, para murid menuju tempat duduk masing-masing. Tidak lama guru masuk dan langsung memberikan soal ujian beserta lembar jawaban. Belum sempat mengisi kolom nama ataupun nomer aku lebih dahulu melihat soal-soal yang ada. Setelah aku membolak-balikkan soal banyak sekali yang tidak aku mengerti. Aku hanya bisa berpasrah dan berusaha mengerjakan sebisa mungkin.

Waktu berjalan kurang setengah jam lagi. Aku langsung panik dan melirik kawan-kawan disekelilingku. Mereka semua nampak serius sekali mengerjakan, sedangkan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ku lihat ke arah bawah laci meja ternyata ada banyak sekali coretan dengan spidol tertulis. Setelah kuamati dengan serius ternyata itu adalah kumpulan rumus dari soal ujianku hari ini. Dengan cepat tanpa berpikir panjang aku mencoba mengikuti cara-cara yang tertulis.

"Waktu tinggal sepuluh menit." Ujar pengawas ujian.

Aku menggeragap seketika mendengarnya dan berusaha untuk tenang sembari mengerjakan dengan rumus yang ada di bawah mejaku. Dengan cepat aku mengerjakan seluruh soal itu. Ketika waktu habis akupun mampu mengerjakan seluruh soal ujian yang diberikan.

Saat keluar kelas aku bertatapan dengan Zam yang lewat di depanku sembari tersenyum. Seketika aku teringat waktu tadi pagi, dia adalah orang yang berada di kelasku sebelum temanku yang lain datang. Aku kemudian menebak kecil dalam hati tentang siapakah sosok orang yang telah memberikan rumus di bawah mejaku. Dialah orangnya, Zam. Orang yang paling kubenci itu telah menjadi pahlawanku hari ini. Pasalnya, hanya dialah orang yang berada di kelas sebelum aku datang.

Aku tidak menyangka semua ini telah dilakukannya untukku. Sekarang aku mulai menyadari segala sikap dan perlakuannya kepadaku tidak lain karena memang sebatas pertemanan dan saling canda. Dalam diriku mulai meyakini bahwasanya Zam adalah orang yang baik dan penuh tanggung jawab. Dia telah menjadi Pahlawanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun