Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbunuh Karena Sahabat

4 Oktober 2016   11:16 Diperbarui: 4 Oktober 2016   13:27 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : bisfren.com

Wondo dan sito adalah sahabat sejati. Mereka selalu bersama sejak kecil Tanpa ayah dan ibu. Tempat tinggal mereka tidak menetap, dari satu desa ke desa lain, satu kota ke kota lain, dan begitu seterusnya. Dengan tujuan mencari uang dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Kebersamaan mereka yang sangat merekat tidak menjamin perawakan dan karakternya sama. Wondo orangnya tinggi, tubuh ideal, rambut gondrong, pemberani. Sedangkan Sito sebaliknya, ia pendek, dengan perawakan tubuh yang kurus, dan penakut. Pekerjaan mereka pun sangat berbeda dan bertolak belakang , Wondo bekerja sebagai pencopet dan penjudi ulung. Sito berprofesi sebagai marbot masjid.

Walau memiliki karakter dan sikap yang berbeda mereka tetap masih berhubungan. Beberapa kali Sito memberikan makannya untuk Wondo jikalau kelaparan dan tidak memiliki uang. Sebaliknya, Sito selalu dilindungi oleh wondo ketika ada orang yang berani menyentuhnya.

Siang itu pasar nampak ramai. Wondo terlihat serius, memperhatikan seseorang yang sedang terlibat aksi tawar menawar. Seorang ibu-ibu yang nampak sibuk untuk membeli suatu kebutuhannya. Hingga membuatnya tidak hati-hati dengan tas yang di selempangkannya.

Ini kesempatan bagi Wondo untuk bergerak. Ia melangkah, melihat ibu itu lengah ia langsung bergerak mendekat dan mengambil dompet di tasnya. Namun itu adalah hari naas baginya, ketika Wondo sedang merogoh tas sang ibu sudah selesai menawar pembeliannya dan menyentuh tangan Wondo. Wondo terkejut seketika.

"Copet.!" Ujar keras ibu itu.

Wondo berlari kalang kabut. Dengan cepat dan gesitnya ia berbelok ke kanan dan kiri. Beberapa yang tadi berada di sekitar terus mengejar. Sampai pada ruas jalan raya ia masih terus berlari. Siang itu nampak terik. Hawa panas menyengat tubuhnya. Keringat mulai menetes deras. Napasnya sudah tidak beraturan. Namun orang-orang semakin ramai mengejarnya.

Wondo semakin cepat berlari dan berusaha untuk semakin jauh meninggalkan orang-orang yang mengejarnya. Sampai akhirnya ia berhenti dan beristirahat sejenak. Wondo nampak lelah, ia menepi di sebuah toko yang tutup duduk sejenak sembari mengatur napas. Perutnya terasa lapar namun tidak memiliki uang untuk membeli makanan, semalam dia kalah berjudi dan uangnya habis seluruhnya.

"Oh ya Sito". Ia mendengus kecil. Tanpa pikir panjang ia segera berjalan menuju masjid yang ditinggali oleh Sito.

*

Sampai di masjid Wondo langsung menuju bagian kepengurusan. Disana ia tidak melihat Sito, karena lelah akhirnya memutuskan untuk duduk sejenak di halaman luarnya. Sedang nyaman bersandar untuk beristirahat sejenak Sito pun kemudian datang.

"Oi Won." Sito berseru dari kejauhan membawa kantong kresek berisi nasi bungkus.

"Oi kemana aja lo?" Wondo menggeragap mendengar suara Sito.

"Nih abis cari makan. Lo udah makan belum?"

"Yah, boro-boro Sit ga ada uang."

"Oh gitu, yaudah nih makan punya gue dulu ntar beli lagi." Sito memberikan sebungkus nasinya untuk Wondo.

Wondo langsung menerima pemberiannya, dengan cepat ia langsung melahap habis nasi bungkusan yang baru dimakannya.

"Wah cepet banget makannya Won. Laper ya?" Sito bergumam kecil.

"Iya Sit, sorry ya." Jawab Wondo.

"Iya tidak apa."

Mereka pun berbincang-bincang biasa. Sito kembali mengingatkan sahabatnya tersebut untuk segera berhenti melakukan pekerjaannya saat ini. Namun Wondo menghiraukan apa yang dikatakan Sito meskipun dia tahu bahwa apa yang Sito katakan benar.

Hari makin sore. Sito segera melakukan persiapan untuk ibadah sholat maghrib nanti. Ia membersihkan ruangan untuk jamaah nanti.

"Won gue bersihin masjid dulu ya". Sito bangkit berdiri dan meninggalkan Wondo.

Wondo berdiam diri bersandar pada tembok dinding tembok. Ia masih memikirkan kekalahannya tadi malam dan berniat untuk membalaskan dendamnya. Namun saat ini tidak memiliki uang, bahkan siang tadi usaha mencopetnya tidak berhasil.

Dari jauh halaman masjid terlihat sebuah kotak amal. Matanya tertuju dan terus memperhatikannya. Pikirannya sudah tidak karuan. Tidak ada lagi pertimbangan apapun Wondo bangkit dan menghampiri kotak amal tersebut.

Melihat situasi keadaan aman ia bergegas membawa kotak amal tersebut. Kotak amal yang besar cukup sulit untuk disembunyikan bahkan dari balik baju yang dikenakannya. Dengan tenangnya ia berdiri dan berjalan tanpa mempertimbangkan keadaan yang terjadi di sekitar. Ia mulai berjalan keluar halaman masjid. Dari dalam masjid Sito melihat Wondo keluar dengan membawa kotak. Ia menaruh curiga dengan apa yang dibawanya.

"Wondo jangan…" Sito berseru dan langsung keluar masjid berusaha untuk mengejarnya dan mulai mendekat.

Melihat keadaan mencekam ia lari dengan cepatnya. Teriakkan Sito mengundang perhatian jemaah juga para warga di sekitar. Sito semakin dekat mengejar Wondo hingga akhirnya ia mampu menghentikan langkahnya.

"Berikan kotak amal itu Won". Napasnya terengah, "aku yang nanti disalahkan."

"Tidak aku ingin membalas dendam judiku." Jawab Wondo geram.

Sito langsung meraih kotak yang dipegang Wondo, tarik ulur terjadi. Namun apa daya usaha Sito untuk mendapatkan kotak itu musnah. Wondo yang berperawakan besar mudah sekali untuk mendorongnya hingga Sito terjungkal. Wondo langsung membuka kotak amal tersebut, pundi-pundi uang di dalamnya diambil semua. Kemudian kotak amal itu diberikan kembali kepada Wondo.

"Maaf teman." Wondo langsung berlari meninggalkan Sito.

"Jangan Won." Suaranya sendu, air matanya mulai menetes.

Sito sedih melihat apa yang dilakukan temannya. Uang dalam kotak amal mingguan itu harus raib di curi temannya. Sito berusaha bangkit dan ingin kembali. Kerumunan warga yang tadi ramai mengejar terlihat menghampiri Sito. Siapa gerangan pencurinya mereka tidak ketahui. Sito justru menjadi korban keberingasan mereka.

"Sini kotak amalnya". Salah satu warga merebut kotak yang dipegangnya sembari menendang Sito hingga terjatuh.

"Kosong!" Warga geram menatap Sito, "kamu pencuri ya?" Matanya melotot tajam.

"Buuu..bu…." Sito berusaha menjawab.

"Bakar aja bakar." Teriak warga lainnya yang mengerumuni.

"Bu…bu…kan… aku…" Sito mencicit, tubuhnya gemetar.

Orang-orang sudah terasa tidak sabar ingin segera menghajarnya. Tubuh ringkihnya mengkerut ketakutakan. Tersengal berusaha menjelaskan kejadian yang terjadi barusan. Namun semua terasa sia-sia. Warga nampak makin beringas datang. Dengan sekejap kotak amal itu menghantam kepalanya.

Sito sekarat seketika, kemudian tidak lama ia meninggal.

Dari tempat lain Wondo nampak berbahagia dengan uang yang di pegangnya saat ini. Ia telah melakukan kesalahan besar berupa pengkhianatan terhadap temannya. Namun Wondo tidak berpikir panjang. Dengan uang yang ada saat ini ia bisa melakukan pembalasan atas kekalahannya tadi malam. Ia tidak memikirkan nasib sahabatnya setelah apa yang barusan dilakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun