Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Kamu dan Dua Gelas Kopi

27 September 2016   20:27 Diperbarui: 28 September 2016   06:49 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam terang, langit bersih tak tersaput awan. Bulan purnama bersinar indah menawan, bintang tumpah ruah di angkasa membentuk ribuan formasi. Angin lembut semilir bertiup pelan, menelisik sela-sela telinga membelai rambut. Sangat sejuk dan menyenangkan.

Duduk bersamanya hanya beralasan tikar membuat jantungku berdebar-bedar. Hawa panas serasa masuk menikam tubuhku. Keringatku sedikit demi sedikit keluar melalui celah di pori-pori.

“Malam ini sungguh indah ya mon.” Raka bersuara lembut menatap indahnya langit.

“I..iya.” Aku membalasnya gugup.

Raka terus tersenyum memandang langit, aku mengamati wajahnya yang sumringah. Entah apa yang dipikirkannya sehingga dia terlihat bahagia.

“Permisi, mau pesan apa mas?” Pelayan datang menyodorkan menu makanan dan minuman yang tersedia.

“Dua gelas kopi saja mas.” Raka menyahut cepat.

"Baik, tunggu sebentar."

Angin malam semakin kencang bertiup. Suhu badanku yang sebelumnya panas tiba-tiba berubah turun menjadi dingin. Hawa dingin menyerang sendi-sendi organ tubuh dalamku. Aku melingkupkan tangan dan melekukkan lutut.

“Apakah kamu merasakan dingin?” Raka berseru menatapku penuh senyum.

Aku tak menjawab kecuali hanya anggukkan kepalaku yang menjadi sebuah isyarat.

“Pakai jaket ini.” Ia melepaskan jaketnya dan memberikannya padaku.

“Terimakasih.” Tanganku gemetar menerima jaket darinya.

Tidak lama pelayan itu datang dengan membawa dua gelas kopi bertatakan nampan menghampiri kami, kemudian menyodorkan dua gelas kopi tersebut. Raka menerimanya lalu ditaruhnya dua gelas kopi itu diatas tikar.

“Mari dinikmati kopinya, supaya badanmu akan lebih hangat mon.” Raka menyilakan aku meminum kopi yang sudah tersedia, ia mendekatkan segelas kopi dengan piring kecilnya padaku.

Namun aku diam tidak segera meraihnya kecuali hanya tersenyum membalasnya.

"Ayo diminum, tenang ini tidak ku beri sianida kok." Ia berusaha bergurau, "jadi jangan takut."

"Hehehe, iya bisa saja kamu." Aku mulai menikmati sedikit candaannya.

Cafe lesehan ini nampak makin ramai. Terlihat banyak sekali orang yang berdatangan. Kebanyakan mereka yang datang ke tempat ini adalah sepasang kekasih. Mungkin seperti aku dan Raka, walaupun saat ini kami belum resmi menjalin hubungan setidaknya ajakan Raka ke tempat ini menjadi awal dari segalanya.

"Tahukah kamu mon mengapa engkau aku ajak datang ke tempat ini?" Raka bertanya lembut sembari menyeruput segelas kopinya.

"Tidak, memang ada apa?" Aku membalasnya cepat.

"Hehehe, tenang dulu jangan terburu-buru begitu."

"Hmmmmm."

Raka menengadahkan kepalanya kembali sembari tersenyum menatap bintang.

"Bulan itu sangat indah dan menawan ya mon?" Ia berujar pelan, "begitu pula dengan bintang ia berkelip terang penuh warna."

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan ka."

Ia langsung menatapku seketika dengan penuh senyuman. Senyum yang tulus penuh kelembutan terpancar dari wajahnya.

"Seandainya aku bulan dan engkau bintang apakah kamu mau bersatu denganku?" Dia berkata lirih.

Lagi-lagi aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya. Aku hanya diam sembari kupalingkan wajah untuk melihat bintang dan bulan mencoba memaknai apa yang dikatakan oleh Raka.

“Bintang dan bulan tidak pernah bersatu, mereka saling bersaing untuk mencoba menghiasi langit gelap.” Raka menghela napas, “Bulan berusaha untuk memberikan sinar terang untuk mengindahkan langit gelap. Sedangkan bintang berusaha memberikan warna sebagai hiasan di angkasa."

"Aku mengerti." Aku menjawab ketus dengan cepat, wajahku seketika langsung kupalingkan menghadap Raka.

"Mari kita satukan ya mon, harapan dan keinginan kita saat ini menjadi dasar kebahagiaan kita selanjutnya." Suaranya sangat sendu, "maukah kau menjalin hubungan denganku?" Ia meraih tanganku seketika dan dibelainya dengan lembut.

"Ta…tapi…" Aku tergugup.

"Ayolah mon jawablah ajakanku, aku ingin merajut masa depan denganmu."

"Aaaa…ku…"

Raka menatapku dengan senyum. Gelagat wajahnya nampak biasa dan santai. Dari bola matanya terpancar sinar ketulusan.

"Kenapa tergugup gitu mon? Huhh." Raka bergumam pelan, "apakah kamu meragukanku?"

Aku menggelengkan kepala padanya.

"Lantas kenapa mondew?" Ia tersenyum, "aku akan mencoba untuk terus bersamamu walau di neraka sekalipun, hehe." Ia mulai mengajakku bersenda gurau dengan rayuan manisnya.

"Sungguh?" Aku menjawabnya menikmati candaannya.

"Iya, janganlah takut dan risau jikalau harus terbakar di neraka mon." Ia melanjutkan "tenang kamu tidak sendiri, ajaklah aku masuk ke dalamnya. Karena aku yakin nerakamu jauh lebih indah dari surga yang ada." Ia menjawab cepat dengan penuh rayuan.

Aku terbang melayang seketika, terbuai oleh rayuannya. Hatiku terasa membinar, mungkin merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

"Baik kalau begitu." Aku membalas Raka.

"Terimakasih Mondew." Jawab Raka sembari langsung mencium jemari tanganku.

Dua gelas kopi yang kusantap bersamanya memiliki beribu makna yang terkandung. Aroma pahit yang terdapat di dalamnya sungguh tidak terasa dalam lidahku. Mungkin semua karena kabahagiaan yang luar biasa saat ini. 

Malam semakin larut. Café lesehan ini sudah semakin sepi. Terlihat beberapa pegawai sudah bersiap-siap membereskan kursi juga perabotan café lainnya.

Baiklah kalau begitu ayo kita pulang. Raka bangkit berdiri sembari menjulurkan tangan membangunkanku. Aku menyahut tangannya dan bergegas berdiri untuk pulang. 

Kebahagiaan terasa dalam diriku saat ini. Orang yang kusayangi itu ternyata memang tulus dan memberiku kejutan yang luar biasa malam ini. 

Raka mengantarku hingga ke rumah. Ia menyalami kedua orang tuaku sembari meminta maaf telah mengajakku bermain. Dia memiliki keberanian dan juga tanggung jawab yang besar padaku. Namun ayah dan bundaku tidak mempermasalahkannya. Aku terasa semakin bahagia dengan semuanya yang telah diberikannya padaku. 

"Terima kasih semesta atas segala nikmatnya." Aku bergumam lirih dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun