Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tunggu Aku di Nirwana "Ayah"

19 Juni 2016   21:06 Diperbarui: 19 Juni 2016   21:15 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : pixabay.com

"Nirwana adalah tujuan terakhir kehidupan kita." Ayah meneruskan "jikalau kita sampai disana berarti kita sudah sampai pada hakikat tertinggi kehidupan manusia. Kamu mau ke nirwana Niko?" Ayah bertanya pelan.

Aku terdiam menganggukkan kepala. Aku senang berada di dekat ayah, walaupun aku sudah duduk di bangku SMP dan memiliki banyak teman tetapi tidak cukup menggantikan peran ayah. Dialah teman terbaik yang kumiliki. Aku sudah senang dan bahagia jikalau bersama ayah.

Lengang sejenak tiba-tiba ayah menggelagap. Napasnya naik turun seketika. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

"Kenapa ayah?" Aku berteriak keras.

Telepon dokter sekarang nak. Seru ayah membalas.

Langsung aku berlari mengambil telepon. Kutekan nomer dokter dan menyuruhnya cepat datang.

Tidak lama akhirnya sang dokter datang. Ayah dituntun untuk masuk ke dalam kamar untuk diperiksa. Aku membuntutinya dari belakang. Air mata terus menetes mengkhawatirkan kemungkinan buruk terjadi.

Dokter memeriksa seluruh bagian tubuh ayah. Dengan stetoskp yang ditempelkan di dada, juga memegang denyut nadi di pergelangan tangannya.

"Ayahmu baik-baik saja." Jawab dokter sembari tersenyum.

"Nak, ayah ingin bicara dengan dokter." Kamu keluar dulu tidak apa kan? Ayah berkata lirih menyuruhku keluar.

Aku terdiam menganggukkan kepala dan berjalan keluar. Di luar kamar aku bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada ayah hingga aku tidak diperbolehkan mengetahui apa yang dibicarakan. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke kamar dan tidur.

*

Aku mendapati ayah sedang beradegan marah seorang diri dengan perekam video otomatis. Dari balik pintu kamar yang kubuka sedikit terlihat ia sedang memberikan peringatan. Lalu pada adegan lainnya ia memberikan semangat. Entah dengan maksud dan tujuan apa aku tidak mengerti.

Aku berjalan keluar menghampiri. Ayah menggelagap kaget dan langsung menyudahi adegan-adegannya.

"Ayah sedang apasih?" Tanyaku tidak mengerti.

"Tidak apa kok." Jawabnya Sembari menggaruk kepala. "Kamu sudah bangun?"

"Iya ayah" jawabku pelan. "Ayah memang sudah sembuh?

Ayah terdiam seketika menatap Niko. Wajahnya yang sedari tadi ceria tiba-tiba murung. Air matanya terlihat membendung memikirkan jawaban untuk pertanyaan anaknya.

"Sudah dong." Ayah mendekat dan memeluk Niko seketika. Airmatanya yang membendung sedikit menetes pada kaos belakang Niko.

*

Hari-haripun terus berlanjut hingga ayah akhirnya terbaring lemah di tempat tidur. Ditemani seorang dokter dan aku yang menjaganya.

"Nak, maafkan ayah ya." Suaranya terdengar sendu "Mungkin waktu ayah tidak banyak".

"Ayah bicara apa?" Niko bergumam kesal membalas kata-katanya.

"Tenang nak, kamu tidak sendiri." Suaranya semakin lirih "tolong ambilkan flash disk ayah di tas."

Lengang sejenak seketika. Dengan cepatnya aku membuka lemari dan meraih tas yang ia pinta kemudian memberikannya.

Dokter yang berdiri di sudut ruangan membendung air matanya menyaksikan keadaan demikian. Semenjak ia memvonis penyakit kankernya baru kali ini dia melihat ayah akhirnya menyerah dengan keadaan. Sebelumnya ayah selalu bersemangat untuk terus melanjutkan kehidupan dengan merekam berbagai banyak adegan yang diberikan untuk Niko.

"Ayah selalu disisimu nak." Sembari mengeluarkan flash disk dari dalam tasnya. "jikalau kamu merasakan kesepian tontonlah ya nak. Pasti kamu akan merasa bahwa ayah masih ada."

Ayah menggelagap langsung. Napasnya tidak beraturan naik turun. Dengan cepat sang dokter mengambil alih, stetoskop langsung ditempelkan pada bagian dadanya.

"Ayah..." Aku menangis keras sembari menggerak-gerakkan badannya.

Seketika ayah terdiam. Napasnya sudah terhenti. Badannya lemas tidak ada pergerakan.

"Mohon maaf ko, ayahmu telah pergi." Dokter berkata lirih sembari menyeka ujung matanya.

"Tidak mungkin" langsung kupeluk ayah seketika. "Kenapa ayah pergi?"

Tidak ada jawaban darinya kecuali hanya terdiam membisu terbaring tanpa nyawa.

*

Pada hari itu juga jenazah ayah langsung dikebumikan. Para pelayat yang datang berbelawa sungkawa memberikan ucapan duka cita. Terlebih untukku yang saat ini sebatang kara. Aku menangis pada baru nisan yang bertuliskan nama ayah. Semua orang mencoba mendekat dan memelukku agar bersabar menerima kenyataan.

Siang itu terik sekali. Matahari berada pada titik pusatnya dan tepat diatas kepalaku. Sinarnya menyengat dalam kulit. Dengan pakaian hitamku kali ini terasa sekali tubuhku terbakar oleh sinarmya.

Perlahan para pelayat satu-persatu mulai pergi. Hanya aku dan dokter pribadi ayah yang tersisa. Aku masih menangis tersendu-sendu sembari memeluk batu nisannya.

"Ayo Niko kita pulang." Dokter memegang pundakku. "Kita tonton video dari ayah itu ya."

Aku terdiam dan masih menangisi kepergian ayah. Sang dokterpun akhirnya perlahan membangkitkan sedikit mengangkat lenganku. Aku menuruti dan langsung pulang.

Dirumah flash disk dari ayah langsung kutancapkan pada monitor televisi. Ditemani sang dokter aku menonton beberapa video darinya. Ternyata ayah merekam semua kejadian yang terjadi belakangan ini. Adegan ayah yang waktu itu pernah kupergoki itu terekam dengan jelas semuanya.

"Ayah masih ada bukan? Dokter itu berkata lembut. Dia hanya kehilangan raganya saja, jiwanya masih ada dalam kehidupanmu Niko. Dokter menambahkan "dari video tersebut kita bisa melihat betapa sayangnya ayah masih mau mengingatkanmu jikalau kau malas, memberikan motivasi dan segalanya."

Aku terdiam tanpa kata. Video yang kuputar tersebut sangat menyentuh hatiku dalam-dalam.

"Sebelum meninggal dulu dia pernah bercerita tentang nirwana, disitulah dia mulai merasakan sakit dalam tubuhnya. Hingga akhirnya aku datang dan memeriksa. Dan benar, aku memvonis penyakitnya sudah parah dan hanya butuh waktu beberapa bulan lagi." Suara dokter itu semakin sendu "pada saat aku memvonisnya di sisa kehidupannya digunakan untuk merekam ini semua Niko. Ia ingin kamu tidak merasa sendiri dan kesepian, masih ada ayah yang selalu ada dan memberikan hal terbaik untukmu."

"Iya dokter" balasku pelan. "Aku sudah relakan semuanya, dan berjuang menatap kehidupanku selanjutnya. Setelah itu menyusulnya sampai ke nirwana.

Dokter itu tersenyum menatap Niko sedih. Air matanya mulai menetes membasahi pipi. Perasaan haru menyelimuti keadaannya saat itu. Nikopun demikian, ia sudah bisa mengikhlaskan kepergian ayahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun