Kuberikan selembar kertas yang baru saja aku tulis. Mungkin dengan tulisanku demikian lelaki tua ini akan mengerti mengapa gerangan sedari tadi aku tidak dapat bicara.
“Bulan itu nampak indah sekali nak. Cahayanya sungguh anggun dan menawan memanjakan mata siapa saja yang mau menatapnya.” Ia berseru pelan ketika baru saja selesai membaca tulisanku.
Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan kakek tersebut. Langsung saja kuarahkan pandanganku pada rembulan dilangit. Dan memang nampak terlihat anggun dan menawan cahayanya walaupun hanya setengah lingkaran.
"Dengan keadaan bulan yang tidak sempurna ia selalu berusaha untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah bersedih, dan tidak pernah mencoba untuk menghindar dari tanggung jawabnya yaitu bersinar dalam gelapnya malam.” Serunya datar kepadaku sembari menatap langit.
Seketika itu aku bersedih dan menangis menatap rembulan setengah lingkaran. Aku sadar dengan keadaanku saat ini yang sering menghardik kehendak-Nya. Beberapa kali aku selalu menyumpah dalam hati tentang nasib burukku saat ini. Tidak mengetahui nasib yang lebih buruk dengan keadaanku saat ini.
Bulan yang tidak sempurna berusaha keras untuk mengeluarkan cahaya yang indah. Sedangkan aku yang hanya tidak bisa berbicara dan mendengar mengeluh tanpa memberikan sesuatu yang lebih baik untuk kehidupan. Kupandangi terus bulan setengah lingkaran tersebut menatapnya kembali dan berpikir dalam hati.
Rasanya aku menyesal dengan sikap yang kulakukan saat ini. Semua bentuk protesku rasanya berakhir sudah. Tidak ada lagi bentuk protes yang akan kutumpahkan dalam berbagai tulisan dan keluh kesahku. Aku berusaha untuk bersyukur dengan keadaanku saat ini. Berusaha, berjuang, bekerja keras untuk merubah segalanya yang sudah ditakdirkan untukku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H