Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Syukur

14 Juni 2016   07:59 Diperbarui: 14 Juni 2016   08:23 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa aku harus terlahir seperti ini? Tidak bisa berbicara seperti orang lain? Kenapa? Apakah tuhan membenciku? Apakah tuhan senang dengan keadaanku saat ini? Keadaan dimana aku hidup tersiksa secara bathin." Tinta pena telah menyambar kertas kosongku malam ini. Sebuah curhatan kecil kusisipkan dengan bahasa yang cukup sarkatis sebagai bentuk protesku kepada tuhan. Dari beranda rumah ini pandanganku langsung seketika kuarahkan pada langit luas sembari merintih dalam hati.

Malam gelap tersaput awan. Bintang-gemintang tumpah mengukir angkasa menyebar membentuk formasi. Bulan setengah lingkaran terlihat anggun. Cahayanya yang sedikit redup namun penuh keelokan dan menawan membuat mata ini tidak bisa berkedip. Semua yang kulihat nampak sempurna dan elok. Dengan berbagai bentuk dan kemampuan masing-masing mereka menjadi lebih berguna.

Sedangkan aku? Tidak ada yang bisa diharapkan. Dengan berbagai macam tulisan dan lukisan yang kugambar bukanlah sebuah karya. Semua merupakan bentuk protesku kepada Tuhan tentang kesalahan menciptakanku yang demikian.

Menatap jalan diluar sembari duduk tiba-tiba seseorang dengan mengenakan pakaian hitam putih terlihat berjalan dan ingin melintas di depan rumahku. Wajahnya sudah tua dan rambutnya memutih. Siapalah dia aku tidak peduli. Ketika berada tepat depan rumahku ia membelokkan arahnya menuju tempatku duduk. Aku yang sedang duduk diatas kursi terkaget ketika melihatnya.

“Malam nak.” Dia menegurku pelan.

Aku membalas tegurannya dengan mengangguk santai. Karena aku tidak bisa bicara jadi hanya bisa mengangguk.

“Bolehkah saya duduk nak?”

Aku terdiam seribu bahasa tidak memberikan jawaban menunduk atau menggeleng. Namun dengan cepat dan terpogoh-pogoh iya langsung menghampiriku dan duduk disampingku. Kedua tongkatnya diletakkan di samping sembari didirikannya.

“Lelah nak mau meneruskan jalan sebentar istirahat dahulu.”

Lagi-lagi ia terus bicara dan aku tidak bisa menjawabnya. Tidak ada juga tanggapan dariku kecuali hanya bingung menatapnya. Seorang lelaki tua dengan akrabnya mencoba mengajak berbicara. Namun sangat disayangkan aku tidak bisa menjawabnya.

“Kamu kenapa nak? Kok diam saja.”  Serunya halus sembari tersenyum ke arahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun