"Bisa tuliskan nomormu?" ujar laki-laki berbadan tinggi berparas rupawan, kemudian menyerahkan ponsel kepadaku. Aku mengambilnya dan mulai memainkan jari-jari di angka-angka ponselnya.
      "Badanku sudah tidak enak, ragaku sudah lelah. Lebih baik kita pulang dulu saja" kalimatku malam itu meminta sahabat wanitaku untuk segera pulang dan meninggalkan obrolan diwarung kopi bersama kumpulan manusia baru dalam suatu komunitas.
      Malam ini, aku bermalam dirumah sahabatku. Karena jarak rumahku begitu jauh tidak sanggup sahabat wanitaku ini mengarungi kerasnya jalanan malam-malam hanya untuk mengantarkan manusia merepotkan ini. Aku tidak tega. Dia dengan hati tulusnya menyiapkan selimut untuk menghangatkan badanku, padahal yang butuh kehangatan adalah hatiku. Hatiku dingin hingga sekarang, belum ada seseorang yang tepat menghangatkannya. Beberapa kali dia memintaku untuk tidur, namun pikiranku tidak berhenti bekerja. Layaknya pabrik yang tidak ada jadwal libur.
      "Bagaimana kabarmu dengannya?" tanyaku pada sahabatku.
      "Jarak memisahkan kita." Jawabnya sambil menata posisi terbaik untuk tidur
      "Kamu kuat dengan jarak?" pertanyaan seakan ingin tahu mendalam
      "Untuk saat ini."
      "Lalu, jika sudah tidak?"
      "Kita akan benar berpisah" jawabnya lalu memejamkan mata begitu cepat.
      "Tenang ini semua hanya perihal waktu" ujarku menatap langit-langit kamar.
      Alarm pagi membangunkanku lebih cepat dari biasanya, ku tengok sahabatku dia sudah lebih awal bangun pagi. Sial. Aku keluar dari kamar dengan kaki sedikit gontai, tanganku sibuk menata pandangan mataku yang masih kabur, suasana rumah sepi. Sahabatku, sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk kita berdua.