Istilah ateis merupakan sebuah penghinaan. Tak seorang pun ingin menyebut dirinya ateis. Istilah itu belum merupakan lencana yang bisa dikenakan dengan bangga. Namun, pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, orang-orang di barat mengembangkan sikap yang membuat pengingkaran eksistensi Tuhan menjadi sesuatu yang bukan hanya mungkin, tapi juga disenangi.Â
Mereka menemukan dukungan terhadap pandaangan didalam mereka di dalam sains. Akan tetapi, tuhan para reformis pun dapat dipandang selaras dengan sains baru. Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan, Luther dan Calvin menolak pandangan Aristoteles bahwa alam memiliki kekuatan yang instrinsik didalam dirinya sendiri.Â
Mereka berkeyakinan bahwa alam sama pasifnya dengan seorang Kristen,yang hanya bisa menjadi penerima berkah penyelamatan dari Tuhan dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk dirinya sendiri (Amstrong; hal 432).
Secara eksplisit, Calvin memuji kajian ilmuan tentang alam, bahwa tidak ada pertentangan antara sains dan kitab suci. Tapi nampaknya, Gereja Katolik Roma tidak terlalu berpikiran-terbuka mengenai masalah ini. Contohnya, pada tahun 1530, 15 tahun setelah Luther menyebarkan tesis protesnya terhadap Gereja, ahli astronomi Polandia, Nicolaus Copernicus, menyelesaikan risalahnya De Revolutionibus, yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, dan hal ini bertentangan dengan dogma Gereja dimana dinyatakan bahwa bulan adalah pusat tata surya, hal ini berkaitan dengan keberadaan Surga dan Neraka dalam alkitab, dan pada tahun 1543 menjadi salah satu buku yang terlarang oleh Gereja.Â
Namun pada tahun 1613, Galilei Galileo mengklaim bahwa teleskop hasil temuannya telah membuktikan kebenaran sistem Copernicus, dan ini membuat Galileo dipanggil menghadap inkuisisi, diperintahkan untuk menarik kembali keyakinannya dan dijatuhi hukuman penjara sampai batas yang tidak ditentukan.
Hukuman atas Galileo memunculkan berbagai reaksi sekaligus penentangan, tidak semua semua orang Katolik menyetujui keputusan ini, tetapi Gereja Katolik Roma secara Instingtif  menentang setiap perubahan sebagaimana semua institusi lain pada periode ketika pandangan konsentrativ sedang berjaya.Â
Yang membuat Gereja sedikit berbeda adalah kekuatannya untuk mendesakan perlawanannya dan merupakan mesin yang bekerja secara efisien dalam memaksakan keseragaman intelektual. Tak pelak lagi, hukuman atas Galileo mematikan kajian ilmiah di negara-negara katolik. Amstrong dalam Sejarah Tuhan mengakatan bahwa kasus Galileo adalah kasus yang rumit, dan ia tidak tidak bermaksud menelaah seluruh aspek politiknya.Â
Namun ada satu fakta yang penting bagi kita: Gereja Katolik Roma mengutuk teori heliosentrisme bukan karena teori itu berbahaya bagi keimanan kepada Tuhan Sang Pencipta, tetapi bertentangan dengan firman tuhan dalam kitab suci.
Hal ini juga mengusik banyak penganut protestan pada masa pengadilan Galileo. Baik Luther maupun Calvin tidak mengutuk Copernicus maupun Galileo, meskipun tidak secara terang-terangan mendukung pernyataan tersebut. Selain pertentangan yang terjadi diantara Gereja dan para Ilmuan, Leonard Lessius (1554-1623) seorang teolog menyatakan bahwa eksistensi tuhan ini bisa dibuktikan secara ilmiah seperti semua fakta kehidupan lainnya.Â
Namun pada abad ketujuh belas, para teolog dan pendeta terkemuka terus beradu argumentasi tentang keberadaan tuhan dengan alasan-alasan yang sepenuhnya rasional.
Dalam diri seorang teolog semacam Lessius dapat kita saksikan bahwa ketika Eropa menghampiri modernitas, para teolog justru membekal kaum ateis masa depan dengan sejumlah amunisi pengingkaran terhadap tuhan, yang tak banyak memiliki nilai religius dan mengisi hati manusia dengan ketakutan. Seperti para filosof dan ilmuan, kaum Kristen pasca Reformasi berusaha mencari pencerahan dari Tuhan yang ditemukan oleh akal.Â