Batik, misalnya, kini menjadi lebih modern dan digemari anak muda di platform seperti Instagram. Namun, risiko tetap ada, yaitu esensi asli budaya bisa saja tereduksi menjadi sekadar "estetika."
Banyak budaya lokal kini bergantung pada kreator konten untuk tetap relevan. Sayangnya, tidak semua kreator memahami akar budaya yang mereka promosikan. Ketika makna asli dari budaya hilang, apa yang tersisa hanyalah cangkang kosong yang tidak lagi merepresentasikan identitas asli.
Â
Apa yang Bisa Dilakukan?
Melawan algoritma bukanlah solusinya, tetapi mengendalikannya mungkin bisa menjadi jawaban. Kreator lokal harus belajar memahami bagaimana algoritma bekerja dan menggunakannya untuk mempromosikan budaya tanpa kehilangan esensinya.
Pemerintah dan institusi budaya juga perlu berinvestasi dalam platform digital yang dirancang untuk mendukung pelestarian budaya lokal.
Masyarakat pun harus berperan aktif, tidak hanya sebagai konsumen budaya tetapi juga pelaku pelestari budaya. Mulai dari mendukung seni lokal, hingga membuat konten yang mendalam tentang tradisi kita.
Digitalisasi tidak akan berhenti, tetapi kita memiliki pilihan untuk menentukan arah dari transformasi ini.
Budaya bukan hanya tentang tarian, lagu, atau pakaian; ia adalah cerminan jati diri kita sebagai bangsa. Di tengah arus globalisasi digital, tantangannya adalah bagaimana kita tetap bisa menjadi diri sendiri tanpa harus kehilangan makna budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com