Dunia semakin terkoneksi, tapi ironisnya kita semakin kehilangan jati diri. Di tengah derasnya arus digitalisasi, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah identitas budaya lokal mampu bertahan menghadapi gelombang algoritma dan homogenisasi budaya global?
Algoritma yang menjadi tulang punggung platform digital tidak hanya menata apa yang kita lihat, tetapi juga secara halus memengaruhi cara kita berpikir, bertindak, bahkan memaknai budaya kita sendiri.
Â
"Setiap budaya punya kekuatan bertahan, tetapi internet mengubah segalanya." ujar Manuel Castells, seorang sosiolog terkenal. Kutipan ini mengingatkan kita bahwa budaya lokal kini berada di titik persimpangan, di mana tradisi harus bertarung melawan gempuran konten viral.
Andreas Hepp, dalam bukunya Mediatization and the Transformation of Cultural Identity, mengungkapkan bagaimana media digital berfungsi sebagai perantara yang tidak netral, sering kali menciptakan ruang homogen yang mengaburkan keberagaman budaya.
Begitu pula dengan kajian Poulopoulos dan Wallace dalam Digital Technologies and the Role of Data in Cultural Heritage, yang menyoroti bahwa big data dan teknologi digital menciptakan tantangan baru dalam pelestarian budaya, terutama karena teknologi ini cenderung mendorong apa yang disebut "monokultur global."
Namun, apakah homogenisasi ini sepenuhnya buruk? Di satu sisi, kita lebih mudah mengenal budaya dari belahan dunia lain. Di sisi lain, keberagaman lokal kerap dipaksa menyesuaikan diri dengan standar global yang digerakkan oleh algoritma.
Budaya Lokal dan Tantangan Algoritma
Digitalisasi membuat budaya lokal harus bersaing di panggung global, tempat algoritma memprioritaskan apa yang paling banyak dicari, bukan apa yang paling berharga.
Sebagai contoh, tarian tradisional yang sarat makna sering kali kalah popularitas dari tantangan TikTok. Algoritma tidak peduli apakah sesuatu memiliki nilai sejarah. Ia hanya peduli tentang jumlah klik dan waktu tonton.
Namun, peran algoritma tidak sepenuhnya negatif. Di tangan yang tepat, algoritma dapat menjadi alat untuk melestarikan budaya, seperti platform edukasi yang menghadirkan seni tradisional ke audiens global. Masalahnya adalah keseimbangan, yakni bagaimana kita menggunakan teknologi tanpa kehilangan akar budaya kita?Â
Homogenisasi atau Evolusi Budaya?
Pertanyaan lain yang muncul adalah: apakah ini homogenisasi atau evolusi budaya? Saat algoritma menciptakan tren global, budaya lokal tidak selalu punah; melainkan mereka berevolusi.
Batik, misalnya, kini menjadi lebih modern dan digemari anak muda di platform seperti Instagram. Namun, risiko tetap ada, yaitu esensi asli budaya bisa saja tereduksi menjadi sekadar "estetika."
Banyak budaya lokal kini bergantung pada kreator konten untuk tetap relevan. Sayangnya, tidak semua kreator memahami akar budaya yang mereka promosikan. Ketika makna asli dari budaya hilang, apa yang tersisa hanyalah cangkang kosong yang tidak lagi merepresentasikan identitas asli.
Â
Apa yang Bisa Dilakukan?
Melawan algoritma bukanlah solusinya, tetapi mengendalikannya mungkin bisa menjadi jawaban. Kreator lokal harus belajar memahami bagaimana algoritma bekerja dan menggunakannya untuk mempromosikan budaya tanpa kehilangan esensinya.
Pemerintah dan institusi budaya juga perlu berinvestasi dalam platform digital yang dirancang untuk mendukung pelestarian budaya lokal.
Masyarakat pun harus berperan aktif, tidak hanya sebagai konsumen budaya tetapi juga pelaku pelestari budaya. Mulai dari mendukung seni lokal, hingga membuat konten yang mendalam tentang tradisi kita.
Digitalisasi tidak akan berhenti, tetapi kita memiliki pilihan untuk menentukan arah dari transformasi ini.
Budaya bukan hanya tentang tarian, lagu, atau pakaian; ia adalah cerminan jati diri kita sebagai bangsa. Di tengah arus globalisasi digital, tantangannya adalah bagaimana kita tetap bisa menjadi diri sendiri tanpa harus kehilangan makna budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI