Tumbuh di tengah gejolak politik global, kemenangan Donald Trump pada Pilpres AS 2024 mengejutkan banyak pihak (atau mungkin juga sudah diprediksi oleh sebagian kalangan). Kemenangan ini membawa angin yang mengarah pada dinamika baru, khususnya di panggung ekonomi dunia, yang berpusat pada sengketa perdagangan antara AS dan Tiongkok.
Bagi sebagian besar warga Amerika, kembalinya Trump berarti revitalisasi janji-janji nasionalisme ekonomi yang pernah dijunjungnya. Make America Great Again. Namun, bagi komunitas global, terutama di Tiongkok, kemenangan Trump adalah pertanda potensi ketegangan dagang baru yang pernah mengguncang stabilitas ekonomi dunia.
Sejak pertama kali Trump memberlakukan tarif tinggi pada impor dari Tiongkok, konflik ini bukan hanya sebatas perang tarif, namun telah berkembang menjadi perang kebijakan yang menyeret ekonomi dan diplomasi global. Seperti yang ditulis oleh penelitian dari National Bureau of Economic Research (NBER), tarif tinggi ini berdampak pada kenaikan harga barang di AS, mengurangi efisiensi produksi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi tanpa benar-benar menurunkan defisit perdagangan AS secara signifikan.
Namun, apakah Trump akan mengulangi langkah ini? Atau ada strategi baru yang akan ia luncurkan? Menarik untuk dinantikan.
Motivasi Politik dan Ekonomi di Balik Tarif Tinggi
Kebijakan Trump soal tarif seringkali dilandasi bukan hanya soal tujuan ekonomi, tetapi juga oleh motif politik yang cerdik. Studi dari Cambridge Core menyebutkan bahwa Trump sangat piawai memanfaatkan isu proteksi ekonomi sebagai daya tarik bagi pemilih di kawasan-kawasan yang merasa ekonominya terdampak oleh impor murah dari Tiongkok.
Bagi komunitas pertanian dan manufaktur di AS yang merasa terhimpit, kebijakan Trump adalah angin segar yang diharapkan dapat "membebaskan" ekonomi mereka. Namun, sayangnya, dampaknya justru menjadi bumerang: Tiongkok merespon dengan tarif balasan yang membuat produk pertanian AS , yakni komoditas utama dari basis pendukung Trump , menjadi lebih sulit dijual di luar negeri.
Apakah Trump peduli? Tentu, di mata Trump, kemenangan politik lebih bernilai. Seperti yang pernah dikatakannya, "Winning isn't everything, it's the only thing." yang kurang lebih berarti bahwa hasil akhir, bukan proses, adalah yang utama baginya. Meski hal ini memicu kontroversi, tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan Trump inilah yang membuatnya berhasil kembali ke Gedung Putih.
Â
Tiongkok dan "Serangan" Balasan : Konflik yang Berkelanjutan
Bagi Tiongkok, langkah-langkah Trump dianggap sebagai bentuk provokasi yang secara langsung merusak ekonomi mereka. Jika di tahun-tahun sebelumnya, Tiongkok terpaksa harus menerapkan tarif balasan yang menyakitkan, kali ini mereka mungkin lebih siap menghadapi strategi yang akan datang dari Trump.
Ketidakpatuhan Tiongkok terhadap beberapa prinsip WTO, seperti proteksi hak kekayaan intelektual dan akses pasar, sering menjadi alasan AS untuk menekan ekonomi Tiongkok. Hal ini semakin memanaskan konflik dagang yang dapat menyeret ekonomi global ke dalam ketidakpastian yang lebih dalam.
Analisis dari National Bureau of Economic Research (NBER) menunjukkan bahwa ketegangan ini tidak hanya melemahkan WTO sebagai lembaga perdagangan internasional, namun juga mendorong negara-negara lain untuk mengambil langkah proteksi lebih ketat.
Bagi dunia, konflik ini menghadirkan tantangan besar: bagaimana mungkin satu lembaga internasional bisa menengahi dua kekuatan yang tidak menginginkan jalan damai? Atau lebih tepatnya, yang tidak ingin "kalah" dalam persaingan ekonomi global.
Potensi Dampak Jangka Panjang bagi Ekonomi Global
Tentu saja, dampak dari perang dagang ini bukanlah perkara sepele. Kemenangan Trump dapat menciptakan ketegangan lebih lanjut dalam ekonomi global, memicu kebijakan-kebijakan proteksi yang bahkan mungkin berdampak buruk pada negara-negara berkembang.
Bagi para pemimpin dunia, baik di AS maupun Tiongkok, pilihan sulit menanti: mengutamakan ekonomi atau menyelamatkan wajah politik?
Kata-kata dari ekonom terkenal John Kenneth Galbraith mungkin menjadi pengingat: "Politics is not the art of the possible. It consists in choosing between the disastrous and the unpalatable." Seringkali politik mengharuskan pilihan yang serba sulit. Hal ini mungkin sesuai dengan pilihan Trump dalam menjaga "kedaulatan ekonomi" AS.
Namun, dalam konteks global, efek dari ketegangan dagang ini bisa terasa bagi miliaran orang di berbagai belahan dunia. Termasuk Indonesia.
***
Dengan kembalinya Trump sebagai presiden, hubungan AS dan Tiongkok menghadapi ancaman siklus perang dagang yang tak berujung. Langkah Trump dalam meningkatkan tarif memang dipuji sebagai "pembelaan terhadap ekonomi nasional." Namun, seperti kata pepatah, "Jangan membakar jembatan yang telah kau lewati." dunia terhubung dalam jalinan ekonomi global yang kompleks dan saling tergantung.
Bagi banyak pihak, harapan utama adalah bahwa Trump akan lebih hati-hati dalam memilih pendekatan. Sebagai pemimpin, langkah-langkah strategisnya akan sangat menentukan arah ekonomi global dalam lima tahun ke depan. Jika tidak, "perang dingin" dalam bentuk baru ini bisa saja berubah menjadi "perang ekonomi" yang lebih merugikan bagi semua.
Setidak-tidaknya, pemerintahan Era Presiden Prabowo harus lebih siap menghadapi situasi ini. Karena kesulitan serupa ketika Donald Trump menjabat di periode pertama sebagai presiden AS mungkin saja akan terulang, atau bahkan lebih besar lagi.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H