Djankov dkk. dalam penelitiannya mengungkapkan, "Debt Enforcement around the World" (2008), bahwa kebijakan restrukturisasi memungkinkan Sritex fokus mengembangkan operasional dengan utang yang terkurangi secara signifikan.
Restrukturisasi bukanlah konsep baru dalam dunia bisnis. Banyak perusahaan global seperti Kodak dan American Airlines yang memanfaatkan restrukturisasi untuk tetap bertahan. Pada proses ini, hal pertama yang biasanya dilakukan adalah menegosiasikan ulang utang dan menurunkan biaya operasional.
Dalam banyak kasus, bisnis yang bertahan ini akan memiliki struktur keuangan yang lebih sehat setelah melalui restrukturisasi dibandingkan sebelum mengalami kebangkrutan. Langkah ini memastikan bahwa bisnis dapat terus berjalan dan tetap relevan di pasaran.
Sritex tentu tidak akan sembarangan dalam mengambil keputusan terkait kelangsungan bisnisnya. Langkah-langkah yang mereka ambil merupakan hasil dari perencanaan matang, termasuk penjualan beberapa aset untuk menutup utang jangka pendek dan fokus pada bagian produksi yang masih menghasilkan.Â
Tidak hanya untuk menutup defisit finansial, keputusan ini juga bertujuan untuk menjaga nilai perusahaan di mata konsumen dan kreditur.
Â
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kasus Sritex mengajarkan bahwa kebangkrutan bukan akhir, tetapi bisa menjadi kesempatan untuk mengubah strategi bisnis yang lebih efektif dan berkelanjutan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, restrukturisasi menjadi opsi terbaik bagi perusahaan yang terancam gulung tikar. Bagi kita, ini juga menjadi pengingat bahwa kemampuan adaptasi dan inovasi adalah kunci, baik dalam bisnis maupun kehidupan pribadi.
Maka dari itu, kebijakan restrukturisasi dan penegakan utang yang baik memberikan ruang bagi perusahaan untuk "bernafas" di tengah kesulitan dan tetap memberikan nilai bagi para pemangku kepentingan.
Akankah Sritex mampu terus bertahan dan bangkit dari keterpurukan ini?
Maturnuwun,
Growthmedia