Sritex, raksasa tekstil Indonesia, beberapa waktu lalu dinyatakan pailit. Menariknya, alih-alih menutup pabrik dan menghentikan produksi, bisnis mereka masih tetap beroperasi. Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana perusahaan yang telah dinyatakan bangkrut tetap bisa berjalan?
 Jawabannya tidak sesederhana "mereka punya cadangan dana." Ini soal strategi restrukturisasi dan kemampuan adaptasi dalam menghadapi kesulitan finansial.
Restrukturisasi bisnis memainkan peran penting dalam mempertahankan kelangsungan operasi perusahaan seperti Sritex.Â
Dalam studi yang dilakukan oleh Hotchkiss dkk., "Bankruptcy and the Resolution of Financial Distress" (2008), dijelaskan bahwa proses restrukturisasi ini sering kali melibatkan pengurangan beban utang yang memberatkan perusahaan. Langkah ini membuat mereka bisa bertahan dan bahkan beroperasi, meski dalam bayang-bayang kebangkrutan.
Â
Sebagai contoh adalah General Motors, yang berhasil keluar dari jurang kehancuran berkat restrukturisasi.
Peneliti dari Journal of Political Economy (2008) juga menyebutkan bahwa kebijakan dan peraturan utang yang baik di beberapa negara turut mendukung model bisnis seperti ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Djankov dkk., kebijakan yang mengizinkan penjualan aset non-produktif memungkinkan perusahaan fokus pada area bisnis yang lebih menguntungkan dan mengurangi beban operasi sehari-hari.
"Adversity introduces a man to himself" -- Albert Einstein
Baca juga: "Workation" serta Dampaknya pada Kreativitas dan Kesejahteraan Karyawan di Era Pasca Pandemi(Kesulitan memperkenalkan seseorang kepada dirinya sendiri).
Konsekuensi Keputusan Pailit
Keputusan pailit membawa konsekuensi serius bagi perusahaan seperti Sritex, baik dalam aspek finansial, operasional, maupun citra publik. Berikut adalah beberapa konsekuensi penting dan faktor yang mempengaruhi berapa lama Sritex bisa bertahan menghadapi vonis pailit:
Pembatasan Keuangan dan Utang
Status pailit membuat Sritex harus menyusun ulang utang mereka, terutama dalam menghadapi tuntutan dari kreditur. Ini bisa berarti pengurangan utang atau negosiasi ulang atas kewajiban yang ada. Proses ini membantu mengurangi beban keuangan perusahaan, tapi juga membatasi fleksibilitas dalam pengambilan keputusan strategis, terutama yang memerlukan investasi besar.
Perlindungan dari Kreditur
Dengan status pailit, pengadilan biasanya melindungi perusahaan dari tindakan agresif kreditur yang berpotensi mengganggu operasional harian. Ini memberi ruang bagi Sritex untuk merestrukturisasi tanpa tekanan langsung, tapi keputusan ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan kreditur.
Dampak pada Reputasi dan Kepercayaan Pasar
Status pailit sering kali merusak reputasi perusahaan. Bagi Sritex, ini bisa memengaruhi kepercayaan pelanggan, pemasok, dan partner bisnis. Tantangannya adalah mempertahankan keyakinan pasar bahwa perusahaan tetap kompeten, meskipun dalam kondisi pailit.
Kontrol Operasional yang Terbatas
Perusahaan dalam status pailit biasanya berada di bawah pengawasan pihak ketiga, seperti pengawas restrukturisasi atau kurator. Ini berarti ada batasan dalam menjalankan operasional dan pengambilan keputusan strategis. Sritex perlu meyakinkan bahwa setiap keputusan operasional tidak melanggar syarat pengadilan atau pengawasan kurator.
Kemungkinan Penjualan Aset
Demi mempertahankan likuiditas, Sritex mungkin perlu menjual aset non-produktif. Aset-aset ini biasanya meliputi properti yang kurang mendukung operasional inti perusahaan. Penjualan aset bisa membantu memperkuat arus kas, tetapi juga bisa mengurangi nilai total aset perusahaan.
Sampai Kapan Sritex Bisa Bertahan?
Kemampuan Sritex untuk bertahan di tengah status pailit sangat bergantung pada beberapa faktor berikut:
Keberhasilan Restrukturisasi
Proses restrukturisasi bisa memakan waktu dari beberapa bulan hingga bertahun-tahun, tergantung pada kompleksitas utang dan negosiasi dengan kreditur. Jika restrukturisasi berhasil, Sritex bisa keluar dari status pailit dan melanjutkan operasional dengan struktur keuangan yang lebih sehat. Namun, jika restrukturisasi gagal atau kreditur tidak mencapai kesepakatan, Sritex mungkin akan mengalami likuidasi.
Kemampuan Mempertahankan Operasional Efisien
Sritex perlu menunjukkan efisiensi dalam operasional, baik dari segi biaya maupun kualitas produk. Ini berarti fokus pada produk unggulan yang menghasilkan margin tinggi dan mengelola biaya produksi secara ketat.
Dukungan dari Kreditur dan Stakeholder Lain
Kreditur yang bersedia memberikan kelonggaran atau bahkan pinjaman baru bisa membantu Sritex bertahan lebih lama. Selain itu, jika stakeholder internal (karyawan, manajemen) tetap mendukung, Sritex bisa mempertahankan operasional dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Adaptasi terhadap Pasar
Sritex harus mampu beradaptasi dengan tren pasar untuk mempertahankan pelanggan. Jika mereka bisa tetap relevan di pasar tekstil meski dalam kondisi pailit, ini akan meningkatkan peluang bertahan. Mereka mungkin perlu melakukan inovasi pada produk atau model bisnis.
Jika faktor-faktor ini dikelola dengan baik, Sritex bisa bertahan selama beberapa tahun ke depan, bahkan mungkin pulih dari status pailit. Namun, jika restrukturisasi atau efisiensi operasional tidak tercapai, status ini bisa berujung pada likuidasi penuh.
Model Kebangkrutan Berkelanjutan
Pada beberapa kasus, kebangkrutan tidak serta-merta berarti akhir dari perjalanan bisnis. Seiring perkembangan kebijakan bisnis, banyak negara memberikan ruang bagi perusahaan untuk melakukan reorganisasi atau penjualan aset non-produktif. Dengan begitu, mereka bisa menutup "lubang" tanpa mengorbankan seluruh bisnisnya.
Djankov dkk. dalam penelitiannya mengungkapkan, "Debt Enforcement around the World" (2008), bahwa kebijakan restrukturisasi memungkinkan Sritex fokus mengembangkan operasional dengan utang yang terkurangi secara signifikan.
Restrukturisasi bukanlah konsep baru dalam dunia bisnis. Banyak perusahaan global seperti Kodak dan American Airlines yang memanfaatkan restrukturisasi untuk tetap bertahan. Pada proses ini, hal pertama yang biasanya dilakukan adalah menegosiasikan ulang utang dan menurunkan biaya operasional.
Dalam banyak kasus, bisnis yang bertahan ini akan memiliki struktur keuangan yang lebih sehat setelah melalui restrukturisasi dibandingkan sebelum mengalami kebangkrutan. Langkah ini memastikan bahwa bisnis dapat terus berjalan dan tetap relevan di pasaran.
Sritex tentu tidak akan sembarangan dalam mengambil keputusan terkait kelangsungan bisnisnya. Langkah-langkah yang mereka ambil merupakan hasil dari perencanaan matang, termasuk penjualan beberapa aset untuk menutup utang jangka pendek dan fokus pada bagian produksi yang masih menghasilkan.Â
Tidak hanya untuk menutup defisit finansial, keputusan ini juga bertujuan untuk menjaga nilai perusahaan di mata konsumen dan kreditur.
Â
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kasus Sritex mengajarkan bahwa kebangkrutan bukan akhir, tetapi bisa menjadi kesempatan untuk mengubah strategi bisnis yang lebih efektif dan berkelanjutan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, restrukturisasi menjadi opsi terbaik bagi perusahaan yang terancam gulung tikar. Bagi kita, ini juga menjadi pengingat bahwa kemampuan adaptasi dan inovasi adalah kunci, baik dalam bisnis maupun kehidupan pribadi.
Maka dari itu, kebijakan restrukturisasi dan penegakan utang yang baik memberikan ruang bagi perusahaan untuk "bernafas" di tengah kesulitan dan tetap memberikan nilai bagi para pemangku kepentingan.
Akankah Sritex mampu terus bertahan dan bangkit dari keterpurukan ini?
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI