Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ternyata Mobil Listrik (Bukan) Solusi Pelestarian Lingkungan?

8 Februari 2023   16:24 Diperbarui: 13 Februari 2023   00:04 1676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil listrik dapat menekan laju emisi karbon. Tapi apakah ini memang solusi sebenarnya? | Sumber gambar : pixabay.com / stux

Popularitas mobil listrik terus meningkat belakangan. Hal ini cukup terlihat dari nilai saham salah satu produsen mobil listrik terkemuka di dunia, Tesla.

Perusahaan milik Elon Musk tersebut merupakan produsen mobil paling bernilai di dunia, dengan nilai valuasi mencapai 1 triliun dollar, mengalahkan penguasa sebelumnya yaitu Toyota Motor Corporation (TMC).

Penjualan mobil listrik Tesla sendiri pada pada awal tahun 2023 di China saja sudah mencapai 66.051 unit, meningkat sekitar 18 persen dibandingkan periode Desember 2022 yang sejumlah 55.796 unit.

Sedangkan, sepanjang tahun 2022 lalu Tesla berhasil memecahkan rekor penjualannya dengan mencapai angka 1,31 juta unit mobil listrik di seluruh dunia.

Tren peningkatan mobil listrik juga terjadi di Eropa, misalnya Jerman yang menapaki milestone 1 juta unit peredaran kendaraan sepanjang tahun 2022. Sedangkan di Ukraina terjadi pertumbuhan kepemilikan mobil listrik hingga 150 persen.

Euforia serupa mulai merambah Indonesia dimana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia memproyeksikan bahwa pada tahun 2030 mendatang akan tersebar 7,46 juta kendaraan listrik dengan 530 ribu unit stasiun pengisian di seluruh Indonesia.

Ramai pemakaian mobil listrik ini tak lain merupakan bagian dari upaya reduksi emisi dari sektor transportasi yang ditengarai sebagai kontributor utama pemasok karbon ke atmosfer bumi selama beberapa tahun terakhir.

Melalui pemakaian mobil listrik diharapkan emisi karbon bisa ditekan semaksimal mungkin sehingga membatalkan laju perubahan iklim yang semakin memburuk itu.

Pertanyaannya sekarang, apakah pemakaian mobil listrik ini akan benar-benar mampu memenuhi ekspektasi kita dalam upaya pelestarian lingkungan?

Emisi Mobil Listrik vs Mobil BBM

Mobil sudah menjadi salah satu alat transportasi yang cukup digemari oleh masyarakat. Suzuki mencatat jarak rata-rata tempuh mobil pribadi di Indonesia mencapai 15.000-20.000 kilometer per tahun. Itu setara perjalanan bolak balik Jakarta ke Surabaya sebanyak 15 sampai 20 kali.

Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), per kilometer jarak tempuh mobil berbahan bakar minyak (BBM), emisi karbon yang dihasilkan yaitu sebesar 200 gram.

Sedangkan untuk mobil listrik sendiri berdasarkan riset dari Universitas Cambridge jumlah emisi karbon yang dihasilkan mencapai 125 gram per kilometer jarak tempuh kendaraan.

Fitra Eri, salah seorang pakar otomotif menyebutkan bahwa setiap 1 kWh mampu menjalankan mobil listrik sejauh 7 kilometer. Sedangkan menurut Darmawan Prasojo, Direktur Utama PLN,1 kWh listrik (Jika listrik masih ditopang PLTU) akan menghasilkan emisi karbon sebesar 0,85 kg. Atau setara 121 gram per kilometer.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa mobil listrik memang mengurangi pasokan emisi karbon dari gas buang kendaraan.

Sehingga tidak mengherankan apabila dukungan terhadap implementasi mobil listrik semakin besar. Mulai dari tingkat pemerintah pusat sampai daerah turut menelurkan peraturan yang mendukung persebaran mobil listrik agar semakin meluas.

Program kendaraan listrik berbasis baterai yang bertujuan mengakselerasi mobil listrik di masyarakat tertuang pada Peraturan Presiden nomor 55 tahun 2019 serta Peraturan Menteri Perindustrian nomor 27 tahun 2020 tentang Pemetaan Pengembangan Mobil Listrik.

Selain itu, insentif untuk mobil listrik berbasis baterai kepada produsen maupun konsumen juga terus ditingkatkan. Diantaranya memberi keringanan pajak bagi produsen mobil listrik serta memberlakukan suku bunga rendah kepada para calon konsumen mobil listrik.

Keringanan Pajak BBN-KB sebesar 0% pun juga diberlakukan oleh pemerintah daerah, misalnya di DKI Jakarta. Begitupun dengan aturan ganjil-genap yang dibebaskan berlakunya bagi para pengguna mobil listrik.

Dengan dukungan masif seperti itu apakah bisa dikatakan bahwa mobil listrik telah menjadi solusi yang sempurna dalam upaya penuntasan emisi karbon dan penyelamatan lingkungan?

Ketidaksempurnaan Mobil Listrik

Our World in Data mencatat bahwa total produksi listrik di Indonesia pada tahun 2020 lalu 86,95% persen diantaranya berasal dari bahan bakar fosil. Dengan kata lain, bahan bakar fosil masih menjadi sandaran pasokan listrik di negara kita.

Mengalihkan mobil konvensional berbahan bakar fosil ke mobil listrik yang ditenagai oleh batu bara atau minyak bumi bisa dibilang belum sepenuhnya menuntaskan persoalan. Karena sebagian emisi ternyata hanya dialihkan dari gas buang kendaraan kepada emisi pembangkit listriknya.

Meskipun ada pengurangan, tapi itu hanya sekadar memperlambat kerusakan lingkungan. Belum menanggulangi persoalan secara tuntas.

Tahun 2015 -- 2018 emisi karbon terbesar merupakan sumbangsih dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Tapi selama beberapa tahun terakhir ini sektor transportasi mengambil alih peran tersebut.

Tapi seperti yang saya sampaikan sebelumnya bahwa mobil listrik barulah sebatas solusi setengah jalan. Hanya mengalihkan emisi dari satu sektor ke sektor yang lain. Dari transportasi ke sumber pembangkit listrik.

Apalagi menurut PLN saat ini pembangkit listrik di Indonesia menyumbang emisi karbon 14% secara nasional. Pemberdayaan mobil listrik bisa jadi akan meningkatkan prosentase itu.

Penggunaan mobil listrik benar-benar akan memberi dampak signifikan manakala sumber pembangkitnya turut beralih menggunakan sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT), yang kita tahu potensinya sebenarnya sangat besar.

Sayangnya, porsi EBT Indonesia tersebut baru mencapai 12,16% di tahun 2021 lalu, berbanding 4,9% pada tahun 2015. Atau hanya meningkat sebesar 1,21% per tahun. Padahal potensi EBT kita mencapai 3.686 Giga Watt, atau baru termanfaatkan sekitar 0,3 -- 2,5 persennya saja.

Disamping itu, mobil listrik juga memerlukan penggunaan baterai sebagai penyimpan sumber tenaga. Dan kalau boleh dibilang, justru keberadaan baterai inilah pemicu masalah lain kalaupun misalnya sumber energi listrik telah berganti ke EBT.

Proses produksi baterai membutuhkan aktivitas  penambangan logam dan mineral sehingga berpotensi merusak serta mencemari lingkungan.

Menurut Kasubdit Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ratna Kartikasari, komponen baterai berisi material atau komponen yang berpotensi beracun yakni mengandung logam berat dan senyawa organik beracun lainnya.

Belum lagi menyangkut penggunaan lithium yang konon kabarnya sangat sulit untuk didaur ulang. Sehingga mobil listrik belum benar-benar mampu menjadi penyelesai masalah lingkungan yang terjadi selama ini. Bahkan sangat mungkin menambah terjadinya masalah baru.

Harapan Baru Lingkungan

Riset yang semakin masif dilakukan terhadap penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan mungkin sedikit menghembuskan angin segar akan keberadaan sumber daya kendaraan yang benar-benar ramah terhadap lingkungan.

Mobil hidrogen samasekali tidak mempergunakan sumber energi fosil dalam memproduksi dayanya.

Teknologi ini mungkin masih dalam tahap pengembangan namun memiliki keunggulan lebih efisien dibandingkan mobil listrik. Misalnya dari segi baterai yang lebih kecil seiring pengisian energi bisa dilakukan ketika mobil berjalan.

Selain itu, hanya perlu waktu selama kurang lebih 3-5 menit untuk pengisian hidrogen atau hampir sama seperti kita mengisi bensin di SPBU.

Menurut General Manager Tim Antasena ITS, Ghalib Abyan, mobil hidrogen sangat ramah lingkungan karena tidak lagi menggunakan baterai komponen lithium yang sulit didaur ulang.

Dalam kasus yang lain, teknologi Nikuba  telah diuji untuk mentenagai motor dengan bahan bakar air. Sebuah karya seorang warga Ciregon yang sempat viral beberapa waktu lalu.

Meskipun banyak yang meragukan, akan tetapi ide kreatif tersebut merupakan kabar baik bahwa emisi gas buang kendaraan sejatinya bisa direduksi melalui berbagai cara. Hanya perlu itikad baik untuk menemukan cara-cara baru agar harapan itu terlaksana.

Sehingga menjadi penting sekali kiranya untuk menumbuhkembangkan budaya riset di Indonesia yang seakan kehilangan gairah. Terlepas dari kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas di bidang riset saintifik dan dukungan dana yang terbatas, lembaga yang bertugas menahkodai aktivitas riset tersebut perlu dijauhkan sepenuhnya dari kepentingan politik apapun.

Seperti yang kita tahu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekarang ini justru dipimpin oleh dedengkot partai penguasa yang sebenarnya jauh dari kapasitas sebagai ilmuwan. Mungkin beliau punya gelar profesor doktor, tapi tetap saja riset semacam ini bukanlah bidangnya.

Alih-alih memajukan BRIN, yang ada justru membuat aktivitas riset terbengkalai dan terabaikan. Atau hanya sesekali muncul ke permukaan untuk tebar pesona tanpa kejelasan makna.

Situasi lembaga semacam itu rasa-rasanya tidak akan mampu memberikan porsi perhatian lebih terhadap perkembangan mobil hidrogen yang punya potensi besar menjadi solusi jangka panjang kendaraan ramah lingkungan.

Lembaga riset yang digarap dengan pendekatan ala politisi tidak akan sanggup menelisik sel-sel hidrogen penghasil daya kendaraan agar bagaimana caranya bisa dibuat menjadi lebih murah. Karena politisi atau tokoh-tokoh dengan latar belakang jauh dari pengembangan teknologi tidaklah memiliki kompetensi yang cukup menunjang hal itu.

Yang dibutuhkan oleh BRIN dan lembaga riset sejenis adalah para profesor doktor di bidang sains, bukan yang lain. Jika kita ingin melihat iklim riset yang berkembang pesat daripada sekarang maka memilih sosok pemimpin yang tepat adalah kuncinya.

Meski mungkin kita harus banyak bersabar karena entah kapan waktu ita akan tiba.

Salam hangat.

Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang

NB : Silahkan bagikan artikel ini kepada rekan Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun