Penghujung tahun 2017 yang lalu merupakan satu satu momen yang menyisakan kesan mendalam dalam kehidupan pribadi seorang rekan. Kala itu, putra pertamanya lahir melalui prosesi lahiran secara normal disebuah klinik dekat tempat tinggalnya.
Namun, tidak lama berselang pasca persalinan ternyata istrinya mengalami gangguan kesehatan yang cukup serius. Ia tidak bisa buang air kecil. Awalnya hanya bisa dalam jumlah yang sedikit, tapi lama kelamaan tidak bisa sama sekali.
Tak ayal sang istri pun dibawa kembali ke klinik tempatnya melakukan persalinan guna mendapatkan penanganan medis segera. Dan kala itu pihak klinik melakukan upaya memompa keluar cairan yang sudah terlanjur penuh didalam kandung kemih sang istri.
Rasa nyeri seperti orang ingin buang air kecil bisa dirasakan, namun tanpa bisa untuk mengeluarkan cairan urin. Sehingga selepas dipompa maka kondisi istri rekan tersebut terlihat membaik daripada sebelumnya.
Saat itu, pihak klinik menyatakan bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh kelelahan otot rahim yang terlalu lama berkontraksi sebelum melahirkan. Sekadar informasi, waktu itu istri mengalami pecah ketuban pada sekitar jam 11 malam. Berhubung kala itu pihak keluarga masih ingin mengalami proses lahiran secara "konvensional", maka bukannya segera dibawa ke klinik malah justru memanggil dukun beranak.
Sayangnya, keterampilan sang dukun juga terbatas. Istri rekan saya sudah disuruh mendorong bayinya (baca: mengejan) layaknya sudah benar-benar mau melahirkan. Padahal sebenarnya masih relatif lama. Kalau bisa dibilang barangkali baru pembukaan 3.
Hal itu terus berlangsung dari malam hingga pagi hari. Setiap kali perut sang istri terasa mules, sang dukun menyuruhnya mengejan. Sampai-sampai istri rekan saya tadi menjadi begitu lelah.
Setelah dirasa tidak terlihat adanya perkembangan yang berarti, barulah sang dukun sendiri yang berinisiatif agar proses persalinan dilarikan ke klinik bersalin terdekat.
Salah Penanganan
Singkat cerita, baru sekitar pukul 3 sore sang bayi berhasil dilahirkan ke dunia. Awalnya semua terlihat baik-baik saja meskipun berjam-jam sebelumnya sang ibu harus menjalani periode yang melelahkan dalam prosesi melahirkannya.
Dan benar, sekitar dua hari pasca melahirkan efek terhadap kesehatan mulai terlihat. Sang ibu dari si bayi tidak bisa buang air kecil. Sehingga beberapa minuman tradisional dan juga modern pun dikonsumsi dengan harapan kondisi bisa kembali membaik. Tapi apadaya yang terjadi justru sebaliknya.
Setelah momen dibawanya kembali istri rekan tadi ke klinik untuk dipompa keluar cairan urinnya, tidak lama berselang sang istri justru mengalami kondisi yang memburuk. Kondisi kesehatannya turun drastis dengan kondisi tubuh yang pucat.
Sehingga mau tidak mau harus segera dirujuk ke rumah sakit menuju UGD guna mendapatkan penanganan segera supaya membantu yang bersangkutan melalui masa kritisnya.
Puji syukur sang istri belum terlambat ditangani. Dan sang dokter yang bertugas pun langsung "menginterogasi" dan "menceramahi" pihak keluarga setelah adanya beberapa penanganan yang disinyalir bermasalah sehingga membuat istri sang rekan tadi harus mengalami periode yang tidak mengenakkan.
Ada kesalahan penanganan selama fase pra persalinan sampai dengan perawatan pasca bersalin yang cenderung sembarangan. Maksud hati ingin mengombinasikan perawatan tradisional dengan meminum beberapa ramuan dan juga mengonsumsi obat resep dokter, hal itu justru membuat situasi menjadi lebih buruk.
Pasang Kateter
Istri sang rekan tadi akhirnya harus mendapatkan perawatan selama beberapa hari dari pihak rumah sakit. Dan diberikan alat bantu buang air kecil karena syarat yang mengatur otot untuk buang air kecil masih belum berfungsi normal.
Yang bersangkutan harus menjalani rawat jalan sekitar 1 bulan lamanya dengan tetap harus memakai kateter urin selama hari-hari tersebut sebagai bagian dari terapi penyembuhan.
Dari sini ada pelajaran penting yang bisa dipetik khususnya oleh para ibu hamil yang hendak melahirkan calon buah hatinya agar nanti selepas si jabang bayi lahir kedunia hal itu tidak "menyisakan" masalah kesehatan bagi sang ibu sebagaimana yang dialami oleh keluarga rekan saya tadi.
Berikut adalah 3 pelajaran penting tersebut:
>> Serahkan pada ahlinya
Tidak salah memang memilih cara tradisional dalam menunjang prosesi kelahiran bayi. Toh, orang tua kita zaman dulu sudah cukup berpengalaman menjalaninya. Hanya saja, pada masa kini jumlah "populasi" dukun beranak yang "berkualitas" bisa dibilang sudah tidak sama seperti dulu lagi. Sehingga mesti lebih selektif dalam memilih orang-orang yang nantinya diserahi tanggung jawab untuk membantu lahirnya sang jabang bayi.
>> Hindari mencampuradukkan konsumsi beberapa versi obatÂ
Meyakini khasiat obat atau jamu tradisional memang tidak salah. Demikian halnya dengan mengikuti resep obat dokter. Akan tetapi ketika memadukan keduanya secara bersamaan bukan tidak mungkin akan muncuk efek negatif yang membahayakan.
Terkadang kita harus memilih untuk percaya dan komitmen pada salah satu hal saja. Baik itu aspek tradisional saja atau modern saja. dan hal ini sakan sangat berkaitan erat dengan kita berkonsultasi kepada siapa. Orang yang sudah ahlinya atau yang sekadar asal ucap.
>> Sigap dalam penanganan
Adakalanya situasi yang tidak diinginkan terjadi secara mendadak. Apalagi dalam kasus ibu yang baru melahirkan. Kondisi yang awalnya baik-baik saja bisa seketika berubah menjadi berbahaya apabila tidak disikapi dengan tepat.
Jangan berasumsi bahwa semua akan baik-baik jika hal itu menyangkut kesehatan. Sementara kita tidak memiliki cukup informasi yang tepat terhadapnya. Jika memungkinkan, segeralah bergegas untuk mendapatkan penanganan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H