Biarkan Dzat Yang Maha Adil memberikan penilaiannya yang objektif, jujur, dan tanpa kepentingan apapun. Kita hanya berperilaku dengan sebagaimana apa yang kita pelajari dan ketahui. Jikalau ada yang salah dengan pemahaman kita maka perhitungannya akan dialami oleh pribadi masing-masing.
Tapi pendapat yang diutarakan oleh Imam Besar Syech Abdul Qadir Jaelani bahwa yang 100% halal hanyalah halal hukum serta tidak ada sesuatu apapun yang benar-benar halal dalam entitasnya. Bahkan seorang penjual gorengan pun yang profesinya  tampak bebas dari unsur haram pun ternyata bisa dianggap haram. Bagaimana bisa?
Seandainya ada seorang pembeli datang membeli segepok dagangannya yang ternyata gorengan tersebut hendak dipakai untuk meracuni orang lain dengan membalurkan obat berbahaya pada gorengan tersebut. Dengan perantara gorengan itu tadi nyatanya ada nyawa yang terbunuh, ada rumah yang dirampok, dan lain sebagainya. Gorengan yang awalnya terlihat biasa-biasa saja kini terlihat sebagai sesuatu yang membahayakan. Lantas bagaimana hukumnya sesuatu yang berbahaya?
Demikian pula jasa angkutan umum yang tugasnya melayani orang lain mengantarkan ke tempat tujuan. Dalam situasi normal profesi ini tentunya sangat baik dan halal. Namun bagaimana jika yang diantarkan ternyata adalah orang-orang yang hendak berniat jahat? Terlepas diketahui atau tidaknya niatan buruk yang tersembunyi dibalik rupa orang lain yang memanfaatkan profesi kita, hal itu sudah menunjukkan bahwa sejatinya memang tidak ada sesuatu yang benar-benar murni berstatus halal 100%. Selalu ada potensi "masalah" yang turut serta didalamnya.
Kata Imam Syech Abdul Qadir, satu-satunya hal yang benar-benar halal 100% adalah saat hujan turun dari langit dan kita meminumnya tanpa perantara apapun. Cukup dengan menengadahkan wajah ke atas sembari membuka mulut dan menikmati guyuran air hujan untuk kita nikmati. Artinya, ada cukup banyak hal yang tidak bisa kita pandang secara kaku hakikatnya. Sekaligus tidak menjadikan kita bertingkah sok suci mengingat bahwa selalu ada potensi ketidakhalalan yang turut kita nikmati.
Bukannya kita tidak ingin menjauhi hal-hal yang berpotensi riba, haram, atau sejenisnya. Namun terkadang sistem yang menguasai tata kehidupan kita saat ini telah "memaksa" kita untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari hal tersebut. Sehingga disinilah peran penting zakat untuk mensucikan "kontaminan" yang berpeluang melekat pada sumber rezeki kita. Selebihnya, Wallahua'lam.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H