Sehingga kondisi inipun berimbas pada status pendapatan dari mereka yang berkarier di perusahaan rokok. Ada yang menyebutnya halal. Namun ada juga yang beranggapan sebaliknya.
Tempat Karaoke
Mendengar istilah karaoke mungkin tidak sedikit diantara kita yang melabelinya sebagai sarang maksiat. Meskipun pernyataan itu sebenarnya masih perlu untuk diperdebatkan. Sepintas tempat karaoke dinilai sebagai tempat mengumbar aurat, mendongkrak syahwat, atau mempraktikkan gaya hidup hedon atau berlebih-lebihan. Sehingga stigma yang melekat pada mereka yang bekerja sebagai karyawan tempat karaoke acapkali negatif.
Bekerja disana sama artinya dengan menjemput uang "panas" yang sangat berisiko jikalau hasilnya dipergunakan untuk menafkahi kebutuhan keluarga. Setidaknya itulah sebagian anggapan yang sering kita dengar. Padahal anggapan itu bisa menjadi terasa membingungkan saat seseorang yang bekerja disana melayangkan pembelaannya bahwa saat ini itulah pekerjaan terbaik yang bisa mereka dapatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Daripada mencuri atau berperilaku kriminal, menjadi pekerja di tempat karaoke selama si pekerja tidak turut melakoni aktivitas maksiat maka seharusnya hal itu masih bisa dimaafkan.
Halal Hukum
Lantas apa yang perlu dilakukan oleh kita yang barangkali menjadi bagian dari tempat-tempat berkarier tersebut dan sudah menjadikan profesi disana sebagai sandaran menjalani hidup?
Mungkin yang paling mudah dikatakan adalah mundur dan berhenti dari bekerja disana. Sayangnya, eksekusinya tidak akan sesederhana itu. Akan selalu ada hal yang memberatkan seseorang untuk mengambil keputusan berpaling ke profesi yang lain. Bisa jadi dalihnya adalah sulit untuk mendapatkan pekerjaan pengganti. Bisa jadi alasannya karena nilai penghasilan yang diperoleh sekarang sudah mencukupi dan dikhawatirkan akan timbul masalah saat berpaling ke pekerjaan lain.
Bagaimanapun juga menghindari sesuatu yang samar apalagi yang haram merupakan suatu keputusan hebat yang patut diapresiasi. Niatan menuju kesana sudah menggambarkan betapa berhati-hatinya seseorang mengelola hidup yang ia jalani. Termasuk untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa tidak setiap orang menjalani situasi dan kondisi serupa. Adakalnya keterbatasan menjadi sekat dari realitas dengan situasi ideal yang diharapkan sehingga kita tidak bisa lantas memandang semuanya secara kaku. Paling tidak perlu adanya kelonggaran sembari upaya mempersiapkan jalan yang lebih baik pada masa-masa yang akan datang.
Setidaknya Sang Maha Kuasa tahu dengan apa yang kita perbuat. Dengan profesi yang kita jalani. Dengan karier yang kita tekuni. Kita mnejalani semuanya dalam batasan pengetahuan yang kita miliki. Yang yang dalam pemahaman kita terbaik dan mana yang tidak. Mana yang kita ketahui sebagai yang benar atau yang salah. Dalam hal ini menjadi kewajiban kita untuk belajar. Bukan hak kita untuk menghakimi dan memberikan penilaian orang lain benar atau salah khususnya dalam karier yang mereka jalani dan status abu-abu penghasilannya.