Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

3 Tempat Populer Berkarier yang Sering Dianggap "Abu-abu" Status Halal Haramnya

21 Juni 2021   22:42 Diperbarui: 21 Juni 2021   22:50 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berakarier di bank samar status halal-haramnya? | Sumber gambar : Pixabay

Menjalani karier yang menjadi ladang penghasilan merupakan sesuatu yang penting bagi semua orang. Seseorang rela belajar tinggi-tinggi demi memperoleh jenis pekerjaan terbaik dan penghasilan terbesar. Tidak sedikit juga diantara kita yang bersedia merantau ke tempat jauh agar mendapatkan sumber penghasilan yang lebih besar daripada sebelumnya. Beragam jenis profesi silih berganti tidak segan dicoba untuk mendapatkan kompensasi yang paling menjanjikan.

Namun apa jadinya saat beberapa jenis profesi yang dianggap menjanjikan kompensasi paling menarik secara materi ternyata juga memiliki sisi lain yang membuatnya dipandang sebagai profesi "abu-abu" seiring perdebatan atau kontroversi yang mengirinya. Terutama perbedaan pendapat yang menyangkut status hukum halal-haramnya gaji atau penghasilan yang didapat dari pekerjaan tersebut.

Beberapa tahun terkahir ini mungkin kita sudah cukup sering mendengar jargon hijrah yang ramai dikumandangkan oleh sebagian orang yang ingin menjalani hidupnya secara totalitas pada jalur yang benar-benar "putih". Termasuk dalam urusan sumber nafkah untuk menghidupi serta mencukupi seluruh kebutuhan mereka.

Sehingga lambat laun semakin banyak yang merasakan kegelisahan dan kebimbangan perihal profesi yang mereka jalani. Seorang rekan bahkan rela keluar dari tempat kerjanya sebagai pegawai bank karena ingin menjauh dari label riba yang kerapkali dialamatkan kepadanya institusi tempatnya bekerja.

Bank memang cukup sering dibicarakan sebagai profesi dengan kredibilitas sumber pendapatan yang samar atau abu-abu mengenai status halal-haram penghasilan yang didapat dari sana. Hal ini sudah sering kita jumpai argumentasi pro kontranya di cukup banyak artikel, berita, ataupun diskusi. Namun kelihatannya bank tidak sendiri perihal statusnya tersebut. Dan tidak sedikit dari tempat berkarier tersebut yang sudah dikenal memiliki popularitas tinggi dimata para pencari kerja.

Bank Konvensional

Menyangkut bank konvensional dan sematan sebagai representasi praktik riba tentunya membuat korporasi bisnis jenis ini senantiasa ditempatkan pada ranking teratas pekerjaan yang paling harus ditinggalkan saat seseorang memutuskan hijrah total dalam kehidupannya.

Dengan nilai penghasilan yang cukup menggiurkan sebenarnya tidak sedikit yang menaruh minat untuk berkarier disini. Dan pandangan terkait potensi riba sepertinya tidak terlalu dipusingkan oleh mereka yang mungkin memiliki pemahannya sendiri.

Perusahaan Rokok

Sejak dulu hingga sekarang perdebatan tentang hukum rokok masih saja berlanjut. Sebagian ulama berpandangan bahwa rokok itu hukumnya mubah (boleh). Sebagian yang lain menilainya sebagai sesuatu yang makruh. Tapi ada juga yang beranggapan bahwa rokok itu haram. Diskusi dan kajian dilakukan berulang kali untuk mencari titik temu dari hukum sebenarnya dari rokok tersebut. Dan sejauh diskusi atau kajian yang sudah berjalan dilakukan, sejauh itu pula tidak ada satu keputusan bulat yang menyepakati status dari hukum rokok tersebut.

Meski dalam suatu kesempatan pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menerbitkan fatwa haram terkait hukum rokok, tapi sepertinya hanya diakui secara parsial saja di masyrakat. Sebagian sepakat dengan yang MUI sampaikan. Tapi sebagian yang lain memilih untuk berbeda paham.

Sehingga kondisi inipun berimbas pada status pendapatan dari mereka yang berkarier di perusahaan rokok. Ada yang menyebutnya halal. Namun ada juga yang beranggapan sebaliknya.

Tempat Karaoke

Mendengar istilah karaoke mungkin tidak sedikit diantara kita yang melabelinya sebagai sarang maksiat. Meskipun pernyataan itu sebenarnya masih perlu untuk diperdebatkan. Sepintas tempat karaoke dinilai sebagai tempat mengumbar aurat, mendongkrak syahwat, atau mempraktikkan gaya hidup hedon atau berlebih-lebihan. Sehingga stigma yang melekat pada mereka yang bekerja sebagai karyawan tempat karaoke acapkali negatif.

Bekerja disana sama artinya dengan menjemput uang "panas" yang sangat berisiko jikalau hasilnya dipergunakan untuk menafkahi kebutuhan keluarga. Setidaknya itulah sebagian anggapan yang sering kita dengar. Padahal anggapan itu bisa menjadi terasa membingungkan saat seseorang yang bekerja disana melayangkan pembelaannya bahwa saat ini itulah pekerjaan terbaik yang bisa mereka dapatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Daripada mencuri atau berperilaku kriminal, menjadi pekerja di tempat karaoke selama si pekerja tidak turut melakoni aktivitas maksiat maka seharusnya hal itu masih bisa dimaafkan.

Halal Hukum

Lantas apa yang perlu dilakukan oleh kita yang barangkali menjadi bagian dari tempat-tempat berkarier tersebut dan sudah menjadikan profesi disana sebagai sandaran menjalani hidup?

Mungkin yang paling mudah dikatakan adalah mundur dan berhenti dari bekerja disana. Sayangnya, eksekusinya tidak akan sesederhana itu. Akan selalu ada hal yang memberatkan seseorang untuk mengambil keputusan berpaling ke profesi yang lain. Bisa jadi dalihnya adalah sulit untuk mendapatkan pekerjaan pengganti. Bisa jadi alasannya karena nilai penghasilan yang diperoleh sekarang sudah mencukupi dan dikhawatirkan akan timbul masalah saat berpaling ke pekerjaan lain.

Bagaimanapun juga menghindari sesuatu yang samar apalagi yang haram merupakan suatu keputusan hebat yang patut diapresiasi. Niatan menuju kesana sudah menggambarkan betapa berhati-hatinya seseorang mengelola hidup yang ia jalani. Termasuk untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa tidak setiap orang menjalani situasi dan kondisi serupa. Adakalnya keterbatasan menjadi sekat dari realitas dengan situasi ideal yang diharapkan sehingga kita tidak bisa lantas memandang semuanya secara kaku. Paling tidak perlu adanya kelonggaran sembari upaya mempersiapkan jalan yang lebih baik pada masa-masa yang akan datang.

Setidaknya Sang Maha Kuasa tahu dengan apa yang kita perbuat. Dengan profesi yang kita jalani. Dengan karier yang kita tekuni. Kita mnejalani semuanya dalam batasan pengetahuan yang kita miliki. Yang yang dalam pemahaman kita terbaik dan mana yang tidak. Mana yang kita ketahui sebagai yang benar atau yang salah. Dalam hal ini menjadi kewajiban kita untuk belajar. Bukan hak kita untuk menghakimi dan memberikan penilaian orang lain benar atau salah khususnya dalam karier yang mereka jalani dan status abu-abu penghasilannya.

Biarkan Dzat Yang Maha Adil memberikan penilaiannya yang objektif, jujur, dan tanpa kepentingan apapun. Kita hanya berperilaku dengan sebagaimana apa yang kita pelajari dan ketahui. Jikalau ada yang salah dengan pemahaman kita maka perhitungannya akan dialami oleh pribadi masing-masing.

Tapi pendapat yang diutarakan oleh Imam Besar Syech Abdul Qadir Jaelani bahwa yang 100% halal hanyalah halal hukum serta tidak ada sesuatu apapun yang benar-benar halal dalam entitasnya. Bahkan seorang penjual gorengan pun yang profesinya  tampak bebas dari unsur haram pun ternyata bisa dianggap haram. Bagaimana bisa?

Seandainya ada seorang pembeli datang membeli segepok dagangannya yang ternyata gorengan tersebut hendak dipakai untuk meracuni orang lain dengan membalurkan obat berbahaya pada gorengan tersebut. Dengan perantara gorengan itu tadi nyatanya ada nyawa yang terbunuh, ada rumah yang dirampok, dan lain sebagainya. Gorengan yang awalnya terlihat biasa-biasa saja kini terlihat sebagai sesuatu yang membahayakan. Lantas bagaimana hukumnya sesuatu yang berbahaya?

Demikian pula jasa angkutan umum yang tugasnya melayani orang lain mengantarkan ke tempat tujuan. Dalam situasi normal profesi ini tentunya sangat baik dan halal. Namun bagaimana jika yang diantarkan ternyata adalah orang-orang yang hendak berniat jahat? Terlepas diketahui atau tidaknya niatan buruk yang tersembunyi dibalik rupa orang lain yang memanfaatkan profesi kita, hal itu sudah menunjukkan bahwa sejatinya memang tidak ada sesuatu yang benar-benar murni berstatus halal 100%. Selalu ada potensi "masalah" yang turut serta didalamnya.

Kata Imam Syech Abdul Qadir, satu-satunya hal yang benar-benar halal 100% adalah saat hujan turun dari langit dan kita meminumnya tanpa perantara apapun. Cukup dengan menengadahkan wajah ke atas sembari membuka mulut dan menikmati guyuran air hujan untuk kita nikmati. Artinya, ada cukup banyak hal yang tidak bisa kita pandang secara kaku hakikatnya. Sekaligus tidak menjadikan kita bertingkah sok suci mengingat bahwa selalu ada potensi ketidakhalalan yang turut kita nikmati.

Bukannya kita tidak ingin menjauhi hal-hal yang berpotensi riba, haram, atau sejenisnya. Namun terkadang sistem yang menguasai tata kehidupan kita saat ini telah "memaksa" kita untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari hal tersebut. Sehingga disinilah peran penting zakat untuk mensucikan "kontaminan" yang berpeluang melekat pada sumber rezeki kita. Selebihnya, Wallahua'lam.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1];[2]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun