Setiap jenis pekerjaan tidak akan terpisahkan dengan apa yang namanya komunikasi, interaksi, relasi, hubungan, hingga persahabatan.Â
Bagaimana pun juga setiap orang yang memiliki keterkaitan satu sama lain khususnya dalam menunaikan pekerjaannya, sedikit banyak mengharuskan dirinya untuk bersua maupun bertukar pembicaraan dengan rekan kerjanya.Â
Lambat laun hal itu terkadang berkembang lebih jauh menjadi sebuah ikatan kedekatan antar individu baik itu dalam konteks pertemanan akrab, persahabatan, atau mungkin jalinan asmara.
Di satu sisi kondisi semacam itu bisa jadi menjembatani kesolidan hubungan, kekompakan dalam interaksi kerja, serta kondusivitas yang baik di lingkungan pekerjaan.Â
Namun, di sisi lain hal itu bisa juga memantik suatu dilema tatkala terjadi suatu peristiwa ketika seseorang dituntut untuk lebih mengutamakan kepentingan pekerjaannya atau menjaga jalinan keakraban yang ia rajut.
"Saat seseorang dihadapkan pada pilihan untuk memilih antara pekerjaan atau persahabatan, maka seringkali hal itu memantik suatu dilema. Menghadapkan seseorang pada buah simalakama di mana setiap pilihannya terlihat sebagai sesuatu yang salah. Sehingga perlu adanya pihak ketiga yang menjadi penengah dan menghadirkan keyakinan bahwa ada pilihan lain yang lebih baik."
Mungkin ada sebuah kepentingan di mana ketika hal itu dijabarkan dengan apa adanya, maka akan berpotensi menciptakan "cacat" atau setidaknya merugikan kredibilitas diri rekan kerja yang bersangkutan.Â
Sementara apabila informasi tersebut ditutup rapat, maka akan melahirkan permasalahan yang lain atau bisa jadi salah sasaran dalam membuat suatu keputusan.Â
Dalam hal tersebut, tidak jarang seseorang lebih memilih untuk mengorbankan dirinya sendiri, menutupi aib orang lain. Sehingga jalinan keakraban yang terjalin tidak turut terusik karenanya. Meski sebenarnya hal itu justru "menyakiti" dirinya sendiri.
Akan tetapi hal ini sebenarnya juga sangat bergantung pada tingkat kepentingan yang dimiliki oleh seseorang.Â
Apakah hubungan personal lebih penting ketimbang urusan profesional pekerjaan? Apakah merupakan sesuatu yang wajar untuk "membuka kedok" kesalahan rekan kerja yang sejatinya memiliki kedekatan dengan kita secara pribadi? Bukankah semestinya urusan personal dan profesional tidak perlu dicampuradukkan?
Idealnya memang setiap orang bisa menyuarakan situasi dan kondisi dengan apa adanya tanpa perlu khawatir "efek samping" yang ditimbulkan.Â
Terutama yang menyangkut urusan hubungan antar pribadi, di mana dalam hal ini amat rawan bagi seseorang untuk merasa sakit hati, dihianati, atau merasa tidak dilindungi.Â
Bukan tidak mungkin kebanyakan dari kita beranggapan bahwa sejatinya sebuah hubungan dekat adalah untuk saling menjaga serta melindungi satu sama lain terlepas apapun jenis masalahnya.Â
Dengan kata lain jikalau ada sesuatu yang tidak beres dilakukan oleh rekan dekat kita dalam pekerjaan, maka sudah menjadi tugas kita lah untuk melindunginya. Namun, benarkah demikian?
1 Jari Vs 3 Jari
Seringkali, cara pamungkas yang kita pakai untuk menghindarkan diri dari masalah adalah dengan menunjuk "muka" orang lain sebagai pihak yang bersalah.Â
Namun dalam proses "menunjuk" itu tidakkah kita ingat bahwa hanya satu jari yang mengarah ke orang lain sementara 3 jati yang lain menunjuk kepada diri kita sendiri?Â
Dengan demikian sebenarnya yang diperlukan dalam hal ini adalah introspeksi diri serta melihat sisi andil kita dalam memicu terciptanya suatu masalah.Â
Mungkin secara sengaja atau tidak sengaja ada beberapa tindakan kita yang turut memicu terjadinya masalah tersebut, serta terdapat andil orang lain juga yang turut berbaur di sana, sehingga terjadilah kompleksitas perihal siapa gerangan pemicu masalah yang sesungguhnya. Sehingga kurang tepat kiranya apabila hanya satu pihak saja yang dipersalahkan atau dituding sebagai biang kerok masalah. Jika suatu masalah terjadi di tubuh sebuah tim, maka tim tersebutlah yang harus bertindak dalam satu kesatuan menuntaskan hal itu.
Profesionalitas memang diperlukan dalam menyikapi persoalan pekerjaan. Namun bagaimana pun juga sebagian orang yang merasa bahwa hubungan personal lebih utama. Tentu tidak serta merta bisa berlaku demikian. Sehingga mungkin diperlukan kompromi tatkala terjadi benturan konflik perihal situasi kerja yang menuntut profesionalitas sekaligus hubungan personal yang bisa jadi mengharapkan tindakan yang sebaliknya.Â
Apabila sebuah organisasi hanya dijalankan segelintir orang saja barangkali akan lebih mudah menemukan kompromi jalan keluar. Akan tetapi ketika keterlibatan sebagian kecil orang yang terikat hubungan akrab dalam sekelompok besar orang-orang yang menjalankan roda organisasi maka tentunya hal itu akan lebih rumit.
Yang paling dibutuhkan di sini adalah rasa mawas diri. Tidak berharap perlindungan dari orang lain karena hal itu bisa jadi membuat orang-orang dekat kita berada dalam dilema. Memberanikan diri untuk bertanggung jawab atas kontribusi terjadinya masalah serta mengusulkan solusi penanggulangan yang tepat.Â
Di sinilah peran perlunya mengapresiasi sifat kesatria seseorang yang berani mengemukakan situasi dirinya. Baik itu oleh para atasan ataupun organisasi secara keseluruhan.Â
Bagaimana pun organisasi mungkin memetik keuntungan dari jalinan keakraban yang dimiliki anggotanya. Sehingga sepatutnya mereka juga memberikan kesempatan kepada anggota organisasi yang berbuat salah untuk mengevaluasi dan memperbaiki kesalahan yang pernah diperbuat.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H